Jumat, 04 Desember 2015

Cerpen - Sarjana Desa

Melihat seorang pemegang gelar sarjana sedang duduk-duduk di gubuk pematang sawah dengan pakaian lusuh dan kotor penuh lumpur, bukan kemeja berdasi dan duduk di ruang ber-AC, bisa memunculkan berbagai persepsi  banyak orang.  Bisa jadi ia memang sedang dalam masa menunggu panggilan yang tak kunjung datang dari perusahaan yang telah dilamar. Atau bisa jadi ia dan orang tuanya tidak punya cukup uang untuk membayar ‘uang muka’ sebagai prasyarat dapat bekerja menjadi abdi negara.

Pun begitu dengan yang ada dibenakku saat tahu kabar terakhir Adi setelah studi sarjananya selesai. Telah setahun lebih ia di desa. Katanya tak bekerja. Tak kemana-mana. Seorang sarjana berasal dari desa tetapi memilih desa sebagai tempat tinggal adalah hal yang tak lumrah bagi kami. Di daerah kami, siapa-siapa yang telah sekolah tinggi, terlebih sarjana, sudah sepatutnya merantau ke kota untuk memperbaiki nasib. Pulang-pulang membawa harta melimpah atau minimal membawa kendaraan pribadi. Tidak demikian dengan Adi.

Aku kemudian berpikir mungkin pematang sawah telah menjadi tempat pelarian dari kerasnya hidup yang ia jalani semenjak kematian ayahnya saat ia kuliah dulu. Barangkali pematang sawah adalah tempat terbaik untuk mengakui kekalahan dari kerasnya hidup yang ia dan keluarga lalui. Ia telah kalah. Dan ia menyerah.

Pikiranku ternyata aku salah. Ini adalah keputusan yang telah dipikirkannya matang-matang. Dengan risiko akan dikatakan bodoh bahkan dikutuk orang-orang. Tapi Adi tak pernah bergeming akan hal itu.

“Aku muak dengan mereka yang menuntutku jadi pegawai kantoran, menyuruhku pergi dan menjadi pekerja di kota.” Begitu katanya padaku  setelah ku tanya mengapa ia tak pergi ke kota melamar kerja.

“Jika semua anak muda yang terdidik pergi ke kota, lalu siapa yang tinggal dan membangun desa kita?” Pernyataanku bahwa semenjak muda kita harus mencari pengalaman ke kota malah dibalas dengan pertanyaan.

“Lalu hanya mereka yang telah tua renta yang tinggal di desa? Atau anak muda yang tak terdidik dan putus sekolah, yang sebagian besarnya pun telah menjadi buruh di kota sana yang membangun desa?” Kalimatnya menyusul beruntun tanpa jeda, tanpa ampun. Kali ini aku tak diberinya kesempatan menanggapi.

“Jadi desa kau jadikan sisa? Lalu jika begitu, bagaimana desa kita bisa maju?” Percikan air liurnya sampai-sampai mendarat di pipiku. Kedua alisnya bertemu. Air muka menjadi lebih serius. Ia seperti hendak mengamuk saja. Entah setan desa jenis apa yang merasukinya.

“Lalu kapan desa menjadi setara dan sejahtera selayaknya kota?” Wajahnya memandang jauh ke hamparan sawah hijau yang berujung rimbunan pohon dan gunung biru menjulang tinggi. Mungkin itu salah satu cara meredam kekesalannya yang hendak muncul.

Mungkinkah ia ingin menjadikan desa seperti kota? Dalam hati aku menggugat. Ingin mencoba masuk dalam jeda yang tak kunjung ia beri.

“Aku bukan ingin mengkotakan desa, aku hanya ingin ia setara. Cukup dengan setiap warganya punya penghasilan,  fasilitas publik tersedia, pelayanan pendidikan dan kesehatan, ada. Itu saja.“ Sepertinya ia mendengar suara hatiku.

Istilah meng’kota’ kan desa adalah istilah yang baru kudengar. Istilah itu kemudian mengantarkan kami pada diskusi-diskusi dan sesekali perdebatan tentang idealisme-idealisme masa kuliah dulu. Idealisme yang menurutku sudang usang untuk dipertahankan. Kita ini bukan lagi mahasiswa. Tugas kita sekarang mencari kerja. Mencari uang. Bukankah kita kuliah untuk mendapatkan ijazah sebagai syarat untuk bekerja? Begitukan? Lalu kenapa setelah mendapatkannya justru tak digunkan? Aku makin heran pada Adi. Sang juara kelas tak terkalahkan yang pernah aku kenal menjadi seperti ini adalah sebuah keheranan bagiku.

“Hidup bagiku bukan tentang perkara miskin atau kaya bergelimang harta, bergaji tinggi dengan digit bertambah tanpa henti. Aku tak peduli.” Tegasnya.

“Tapi kau butuh semua itu untuk mengangkat derajat orang tuamu yang telah lama didera kemiskinan, Adi. Di desa, mana bisa kau mendapatkannya?” Aku coba menggoyahkan keteguhannya. Mencoba menyuguhkan realitas yang ia hadapi. Yang mungkin tak ia sadari.

“Dulu ayahku hanyalah petani miskin. Miskin harta dan miskin ilmu. Berbagi harta ia tak punya, berbagi ilmu apalagi. Lalu kenapa ketika anaknya punya ilmu, justru malah meninggalkannya? Ayahku berharap aku tak pergi ke kota. Ia ingin aku ada untuk warga di desa.” Aku terdiam mendengar penjelasan Adi.

“Nak, makan dulu.” Obrolan kami terpotong oleh suara ibu Adi yang datang dari belakang gubuk dengan segantang makanan di tangan kanannya dan teko bergantungkan gelas di tangan kirinya.

“Ibu repot-repot amat bawa makanan ke sawah.” Tanyanya heran.

“Kan ada tamu dari kota, ga tiap hari ini,” Aku merasa yang dimaksud. “Ayo di makan.” Sambung ibu Adi sambil menyuguhkan nasi, ikan bakar, tempe goreng, sambal, dan beberapa helai daun singkong.

Setelah pertemuan itu, aku tahu Adi ternyata tetap menyalurkan hobi menulisnya dengan menjadi kontributor sebuah surat kabar di Jakarta. Kontributor tak tetap salah satu rubrik di  media nasional itu. Ia juga sedang merintis buletin di desanya. Katanya untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya dalam menggali potensi desa. Ia juga mengajar mengaji anak-anak desa selepas maghrib di teras rumahnya.

Selain mencari inspirasi, sawah baginya adalah tempat terbaik untuk mengenang masa kecil yang telah hilang bersama ayahnya. Masih teringat dalam ingatanku, tepat dua petak sawah dari gubuk tempat kami makan, bagaimana di sana, ayahnya menaikkan aku dan Adi ke atas kerbau yang digunakan untuk membajak sawah sewaktu kami masih duduk di kelas 2 SD dulu. Sebelum aku pindah ke kota. Kami dibawanya mengelilingi sawah yang hendak dibajak. Ingatan itu hadir kembali bersamaan dengan kedatanganku ke tempat ini.

Kami makan dengan lahap di bawah rindang pohon mangga yang menaungi gubuk. Ayah Adi selalu bilang, serendah-rendahnya petani desa di mata orang kota, oran kota lupa bahwa beras yang mereka makan, sayuran yang dihidangkan, lauk pauk yang disuguhkan adalah dari desa juga, tempat asal para petani. Katanya jangan pernah malu tinggal, hidup, dan bekerja di desa. Menjadi orang desa haruslah menjadi sebuah kebanggaan.

Senin, 28 September 2015

Mengambil Ilmu dari Ustadz

Orang bijak berucap bahwa setiap orang harus selalu punya guru. Karena tak setiap ilmu dapat diajarkan oleh buku. Pun begitu dengan yang ada dalam kepalaku. Maka pilihan untuk ‘ikut’ guru –yang biasa dipanggil ustadz, setelah lulus sekolah menengah dulu adalah pilihan yang mendatangkan kebersyukuran, hingga sekarang.

Datang dengan malu-malu untuk menawarkan diri ikut salah seorang guru adalah perkara yang tak mudah. Saat teman-teman sebaya berlomba melanjutkan pendidikan, aku memilih jalan yang berbeda: ikut dengan seorang guru. Bukan untuk waktu sehari dua hari, sebulan dua bulan, tapi untuk waktu bertahun-tahun. Bahkan hingga sekarang setelah hampir 7 tahun berlalu.

Ilmu, sekali lagi, tak selalu tentang apa yang tertulis dalam buku. Ia ada dalam setiap hal yang kita temui. Ia tersemat dalam setiap kegiatan yang kita lalui. Langsung atau tidak langsung. Apa-apa yang terlihat dalam keseharian pun bisa jadi ilmu. Dan dari para guru yang pernah aku ikuti dan temui, aku belajar begitu banyak ilmu dan teladan.

Di sana, kita akan belajar tentang dedikasi saat para orang-orang terbaik memutuskan untuk menempuh jalan yang katanya tak selalu melimpah dalam hal materi. Menyumbangkan waktu, tenaga, harta, bahkan mungkin jiwa untuk dunia pendidikan. Bahkan ada yang kemudian mengatasnamakan pengabdian.

Kita akan belajar tentang loyalitas saat orang bisa bertahun-tahun, bahkan seumur hidup tinggal dan bekerja di satu tempat. Bukan tak ada pilihan, tapi memang sebuah keputusan. Saat tempat kerja bukan hanya tempat mencari nafkah, kita bahkan akan menemukan orang yang mewakafkan diri di dalamnya.

Kita juga akan diajari tentang keberkahan harta saat apa yang kita dapatkan secara materi selalu minus jika di-matematika-kan, tapi selalu membuat merasa berkecukupan. Selalu saja ada jalan untuk dapat melanjutkan hidup. Entah jalan itu datang dari mana persisnya kita tak pernah tahu. Yang jelas ada kekuatan di luar kemampuan manusia yang mengatur semua itu.

Dan kita akan belajar tentang keikhlasan yang mungkin saat ini jarang ditemukan. Ilmu ikhlas memang tak mudah dinilai dan tak mudah dijalani. Bahkan katanya butuh sepanjang hayat mempelajari. Ia letaknya jauh di dalam hati. Walau tak pernah ada yang tahu isi hati, setidaknya kita bisa melihat dari apa yang dijalani sehari-hari. Dan aku menemukan percikan-percikan keikhlasan itu di tempat-tempat yang selama ini aku singgahi.

Serang, penghujung Agustus dua ribu lima belas.
Seorang murid.

Kamis, 10 September 2015

Merayakan Kematian

Barangkali benar kata Novia Kusumawardhani bahwa kematian (kadang) memang perlu dirayakan. Pergi dari dunia penuh sandiwara layak diiringi pesta. Menjadi makhluk bebas tanpa beban dan tuntutan orang-orang bisa menjadi sebuah kesenangan. Lebih-lebih jika hidup penuh dengan kepedihan dan kemalangan.

Dulu, kelahiran kita disambut dengan suka cita karena katanya kehidupan adalah anugerah. Lalu kenapa kematian harus disambut dengan duka jika itu pun adalah jalan menuju kehidupan selanjutnya? Maka tertawa tak harus ketika kelahiran tiba saja, tapi juga ketika kematian sebagai jalan kehidupan selanjutnya terbuka.

Kematian hanyalah sebuah perpindahan dimensi, kata Habibie. Ia adalah proses yang musti kita jalani. Maka tak perlu ada yang disesali atau tangisi.

Erangan roh yang meninggalkan tubuh kita sebut kesakitan. Padahal bisa saja itu adalah tertawa dengan cara berbeda. Bukankah ia, sang roh, hendak kembali menemui pemiliknya?

Katanya cara terbaik untuk mengingat mati adalah dengan mengunjungi pusara. Maka cara terbaik untuk tahu mati itu patut dirayakan atau tidak, barangkali kita perlu merasakannya.

Perjalanan Serang-Pandeglang, 10 September 2015

Senin, 31 Agustus 2015

Baduy Corner: Sebuah Soft Launching

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Berawal dari sebuah keresahan yang muncul ketika di bangku perkuliahan, lalu kemudian terus menghantui dalam bentuk sebuah pertanyaan: "haruskah ilmu yang didapat ini disimpan saja tanpa pengamalan?" Dari sana kemudian timbul-tenggelam lah apa yang ada di pikiran. Hilir-mudik silih berganti lah apa yang ada di kepala hingga kadang sampai ‘berperang’.

Saya percaya sebuah pepatah arab yang berbunyi “al ‘ilmu bi la ‘amalin ka syajari bi la tsamarin”; bahwa ilmu tanpa amal -pun sebaliknya amal tanpa ilmu, ibarat pohon tanpa buah; bahwa ilmu yang tak diamalkan akan sedikit mendatangkan kebermanfaatan. Bersamaan dengan kepercayaan itu, tumbuh sebuah kesadaran dalam diri bahwa disukai atau tidak ilmu yang ditekuni, tetap butuh pengamalan. Karena itu juga merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban.

Sebelumnya, saya senang sekali beperjalanan. Dari kesenangan itu seringkali saya diminta oleh teman-teman untuk mengantar ke beberapa destinasi wisata. Kadang sendiri, kadang bersama-sama. Kadang dibayar, kadang sukarela. Perkampungan Baduy luar dan Baduy dalam menjadi tempat yang sering didatangi. Selain karena kesenangan beperjalanan tadi, juga karena kampung halaman saya dan Desa Kanekes bertetangga, dekat sekali.

Jauh sebelum itu, saya bermimpi untuk menapaki jejak para ulama: mengajar, menulis, dan berdagang. Berdagang, apa pun sebutannya pada zaman sekarang, adalah salah satu ikhtiar untuk dapat membiayai transaksi-transaksi yang kita cipta agar dapat terus berlangsung kehidupan kita di dunia.

2013, sebuah permulaan.
Dari sana kemudian terpikir menggabungkan semuanya. Maka menulis tentang Baduy, mengantarkan orang-orang ke Baduy, berdagang hasil-hasil kerajinan Baduy, mengadakan kegiatan sosial di Baduy, lalu semuanya dibungkus dengan konsep mudharabah, murabahah, dan ijarah yang pernah dipelajari, saya pilih menjadi jalan yang saya tempuh sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantui.

Selama ini, konsep-konsep yang pernah saya pelajari tersebut lebih sering digunakan dan kita temukan dalam dunia perbankan syariah. Mudharabah dalam permodalan, murabahah dan ijarah dalam jual beli dan/atau pembiayaan. Saat ini saya ingin menerapkan konsep-konsep tersebut dalam skala kecil sekaligus memperkenalkannya sebagai bagian dari upaya membumikan konsep yang ada dalam perekonomian Islam ini ke khalayak.
Beperjalanan dan berkegiatan sosial, sebuah kesenangan.
Barangkali agak berlebihan, tapi bagi saya ini adalah sebuah perpaduan antara idealisme, hobi, dan kebutuhan. Idealisme untuk dapat mengamalkan ilmu yang telah dipelajari sebagai bentuk ibadah dan pertanggungjawaban; hobi menulis, mengambil mengambil foto dan beperjalanan; dan kebutuhan akan hidup yang musti terus tetap dibiayai.

Akhirnya, saya rasa benar apa yang dikatakan Donny Dhirgontoro bahwa segala sesuatu diciptakan dua kali: dalam dunia imajinasi dan dalam dunia nyata. Maka hari ini saya ingin memperkenalkan apa yang sesungguhnya telah lahir dari rahim imajinasi, dan sedang saya coba rawat dan besarkan di dunia nyata: Baduy Corner.

Kehadiran dan tumbuh kembangnya bisa dipantau di www.baduycorner.com. Mohon doa dan dukungan.

Minggu, 26 Juli 2015

Ukuran Sukses

Saat uang menjadi simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan kesuksesan, barangkali kita perlu menengok suku Lamalera di Lembata sana yang masih mengandalkan barter dalam transaksi di pasar-pasar tradisional. Itu terjadi dalam masyarakat modern yang mereka jalani. Atau tak usah jauh-jauh, tengok saja suku Baduy yang semua bentuk rumahnya serupa, –lagi sederhana. Pun dengan pakaian yang mereka gunakan tak ada yang menunjukan strata sosial dan kedudukan. Kekayaan mereka hanya diukur oleh jumlah lumbung padi yang mereka punya. Untuk dijual lalu kemudian ditukar dengan uang? Bukan. Tapi untuk makan beberapa waktu kedepan. Pantang bagi mereka menjual padi-padi yang mereka punya. Mereka tak begitu butuh dan bahkan tak tergantung dengan simbol-simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan kesuksesan yang selama ini kita gunakan: uang.

Pertama: yang butuh uang sesungguhnya bukanlah kita, tapi transaksi yang kita cipta.

Coba sejenak kita lihat, saat kita kembali berkumpul setelah sekian tahun dengan teman-teman semasa sekolah atau kuliah misalnya, masing-masing dari kita membawa kendaraan pribadinya, pakaian terbaiknya, menyebutkan jabatannya di perusahaan ini dan itu. Masing-masing dari kita mungkin kita akan mengukur kesuksesan dengan keberlimpahan harta, juga dengan tingginya jabatan atau tahta, serta segala hal materi yang mengikutinya. Maka kadang ini bukan hanya menjadi sebuah reuni dan silaturahmi, tapi juga ajang unjuk prestasi dan eksistensi. Saat yang sama hilanglah kebanggaan bahwa anak kita yang baru menginjak usia 5 tahun telah hafal 3 juz dari Al-Qur’an. Tertutupi pula kesuksesan kita mendidik anak yang telah bisa dan terbiasa berbagi makanan dengan teman-temannya saat dari sang ibu ia mendapat makanan. Tak akan dianggap bahkan hilang eksistensi kita saat keberadaan kita punya peran ditengah-tengah masyarakat, –syukur-syukur memberi kebermanfaatan.

Kedua: kita seringkali hanya menilai segalanya dari hal-hal yang kasat mata. Yang tak kasat hilang entah kemana.

Manusia mengukur kesuksesan dari kekayaan dan uang yang dipunyanya. Jika itu ukuran kesuksesan, bagaimana dengan orang-orang yang lahir jauh sebelum kita? Dari zaman Rasulullah SAW hingga zaman setelahnya. Itu saja. Atau tak usah jauh-jauh, bagaimana dengan kakek saya yang tak pernah merasakan naik mobil pribadi seumur hidupnya? Rasa-rasanya mereka tidak bisa merasakan yang namanya kesuksesan sebagaimana yang kita definisikan. Sukses hanya itu menjadi milik mereka yang dapat memiliki hampir segalanya, yang dapat mempunyai apa yang mereka ingini. Mungkin begitu. Atau mungkin ukuran kesuksesan setiap zamannya memiliki definisi sendiri. Ia selalu berubah seiring waktu berganti. Ia pula tergantung dari sudut pandang mana kita melihat dan mendefinisikannya, –walau dalam agama kita telah diajari bahwa ukurannya adalah iman dan takwa.

Ketiga: sesungguhnya definisi sukses itu sendiri adalah nisbi. Tak ada yang tahu pasti.

Kamis, 16 Juli 2015

Bekerja Adalah Menunggu

“Jika semua dijalani sesuai porsi, yakin tak ada yang salah dengan apa-apa yang kita jalani. Kita tak harus jadi gila kerja untuk menjadi kaya.” - Seseorang

Kita sepakat bahwa bekerja adalah upaya untuk menjaga keberlangsungan hidup di dunia, ia salah satu cara agar kita tetap bisa makan dan membiayai segala kebutuhan. Kita juga sepakat bahwa bekerja adalah salah satu bentuk kegiatan mengisi kekosongan, layaknya bermain, menyalurkan hobi, atau jalan-jalan. Bedanya, ia menghasilkan uang. Begitu bukan?

Bekerja dalam bayangan sebagian besar orang saat ini adalah bekerja dari jam sekian hingga jam sekian. Masuk jam delapan, lalu jam lima sore pulang. Sebagian beranggapan dan menuntut demikian. Lalu kita yang tak punya jam kerja seperti itu kadang dianggap tak mewakili kata bekerja sebagaimana mestinya, -sebagaimana definisi orang-orang kebanyakan lebih tepatnya, atau kita bahkan bisa dianggap tak memiliki prospek kehidupan yang layak di masa depan.

Bekerja dalam bayanganku adalah salah satu bentuk kegiatan untuk mengisi kekosongan dalam jeda dua waktu shalat. Dengan bekerja, -sama halnya dengan bermain, menyalurkan hobi, kita sesungguhnya sedang mengisi kekosongan waktu di antara satu waktu shalat dengan waktu shalat selanjutnya. Misal antara waktu shalat Shubuh dan Dzuhur, Dzuhur dan Ashar, dan seterusnya. Ia seperti sebuah kegiatan untuk menunggu. Ya, menunggu. Maka menunggu waktu shalat selanjutnya datang seharusnya menjadi hakikat kerja kita. Seperti hidup ini yang pada hakikatnya menunggu juga.

Dalam menunggu itu kita mencari kegiatan bermanfaat, baik untuk diri sendiri atau pun orang lain. Salah satunya ya kerja ini. Konsekuensi dari menunggu ini adalah ketika yang ditunggu telah datang, maka sudah seharusnya kita mengakhiri kegiatan menunggu itu, atau menundanya. Apapun kegiatan yang sedang dilakukan dalam masa menunggu itu. Karena menunggu adalah menunggu, dia hanya selingan, bukan tujuan. Sayangnya kita terkadang lupa akan hal itu. Kita seringkali lupa bahwa kita hanya menunggu dan juga (me)lupa(kan) yang ditunggu sesungguhnya telah datang.

Jika kita beralasan bahwa waktu shalat akan mengurangi jam kerja, mengurangi gaji kita, dan atau rezeki kita nantinya ikut berkurang juga, rasa-rasanya kita patut belajar pada orang-orang terdahulu: para sabiquunalawwaluun. Bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat meninggalkan segala pekerjaannya ketika waktu shalat datang. Apakah kemudian rezeki mereka berkurang? Sama sekali tidak. Justru rezeki mereka seolah bertambah dan beberapa tetap bisa menjadi kaya. Sebut saja Utsman bin ‘Affan dan Abdurrachman bin ‘Auf. Rasulullah pun begitu, hanya gaya hidup beliau saja yang sederhana. Bahkan bukan perkara harta saja mereka kaya, perkara amal pun tak beda. Mereka kaya harta dan kaya amal. Apa iya mereka mendapatkan semua itu karena mengurangi waktu shalat dan menunda shalat karena kerja? Atau bahkan karena gila kerja? Justru sebaliknya. Mereka menyerahkan perkara rezeki hanya pada pemilik dan pemberi rezeki itu sendiri.

Maka jika kita tetap bekerja saat waktu shalat datang, sesungguhnya itu telah mencederai hakikat kerja itu sendiri. Dan bahkan jika kerja itu justru mengganggu dan tak mempedulikan datangnya waktu shalat, makna kerja itu perlu dipertanyakan.

Selasa, 30 Juni 2015

Teman Perjalanan

Lahir dari rahim imajinasi. Dibesarkan oleh harapan bersama mimpi. Terpelihara untaian doa dan cinta. Disuapi segenggam pundi-pundi materi. Aku menemukan namanya dalam kelebat malam usai tidur panjang. Tiga tahun usianya semalam. Tak ada yang kurayakan. Kubuatkan untuknya sebuah tulisan. Hanya tulisan. Juga doaku untuk bisa kembali beperjalanan.

Semakin kemari semakin aku paham, bahwa perjalanan tak harus sejauh-jauhnya yang ingin kau tempuh. Selangkah keluar dari pintu rumah pun sudah bisa disebut perjalanan. Walau itu bukan berarti menjadi halangan untuk bepergian jauh. Inti kepergian adalah kepulangan. Beperjalanan adalah untuk kembali pulang. Kita takkan pernah dikatakan pergi jika tak pulang kembali. Kepergian akan menjadi sebuah kepindahan jika tak pernah kembali pulang. Hijrah, begitu kita menyebutnya bukan? Dan ia berbeda dengan safar yang mewakili kata perjalanan.

Bersamanya aku tempuh beberapa perjalanan:dari pedalaman desa hingga gemerlap kota, pantai hingga hutan belantara, dari menumpang kereta barang hingga truk batu bara, dari menemani #muqoddimatussafar hingga #mudikbybike. Bersamanya pula kuhabiskan malam di bawah tenda hingga langit saja tanpa apa-apa, tidur di trotoar jalan, selasar masjid, mushola terminal, emperan toko entah milik siapa, deretan bangku stasiun. 

Beberapa waktu ke belakangan ini aku, katakanlah bersemedi. Mencari diri yang mungkin tak pernah tertemukan. Mencari jiwa yang mungkin tak pernah tersempurnakan. Jauh ke depan nanti ku ingin susuri jejak-jejak Ibnu Batuttah, Marco Polo, James Cook, Magelhans, Perry, Amundsen, hingga Naomi Uemura. Atau kita lampaui Trinity dan Agustinus Wibowo saja dulu. Mimpi tinggi, tak ada yang menyalahi bukan? Sambil beperjalanan ingin pula aku sambil berpuisi. Menulis beberapa larik sajak untuk dikirimkan. Entah kemana dan pada siapa: padamu mungkin.

Ia yang beberapa waktu ke depan kuminta untuk menemaniku, sebelum dipertemukan dengan seseorang yang telah Allah persiapkan. Ia yang kuceritakan, bukan siapa-siapa. Tapi mari ku perkenalkan. :D


Seperti halnya si blek dan si bron juga si blu, ia pun sama kukenal dengan sebuah nama: ijo. I.J.O: ga ada lu ga rame. #naon