Malam datang, aku
panik sesungguhnya. Bukan karena aku ada di hutan belantara, bukan karena
penerangan yang kugunakan apa adanya, bukan pula karena jalan setapak yang
terjal sulit dititi saat gelap gulita. Bukan, bukan itu.
Ini semua karena 19
orang di belakangku, yang sudah hampir 4 jam bersamaku, menyusuri hutan melalui
jalan-jalan setapak yang berliku, adalah perempuan!
Ya perempuan!
Hanya 1 orang laki-laki
diujung sana, teman kost-anku, yang 24 jam lalu berhasil kuajak dia secara
paksa agar mendampingi satu-satunya laki-laki yang kini ada di barisan paling
depan, diriku sendiri.
Maka asma Allah tak
henti-hentinya terucap dari bibirku, semenjak setengah jam lalu, saat jarum jam
tanganku melintang membentuk sudut 180°, tanda pekat gelap menyelebungi
lebatnya hutan, dipegunungan Kendeng yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Aku memohon
perlindungan padaNya. Semoga tak terjadi apa-apa.
Bukan apa-apa, ini
pertama kalinya aku menempuh perjalanan berjalan kaki yang cukup jauh bersama perempuan
sebanyak itu. Aku tak mengenal sepenuhnya mereka. Yang kutahu hanyalah sebuah
nama, itupun hanya satu dua, selebihnya aku hanya mengenal mereka dengan nama warna
yang mendominasi pakaian dan kerudung yang mereka kenakan. :D
Terlebih lagi, hal
yang tak ku inginkan sebelum perjalanan dimulai telah terjadi pada salah satu
dari mereka. Walau tak seburuk apa yang ada dalam fikiranku.
Maka alasan aku
menjadi panik, khawatir, cemas, atau apalah namanya, adalah wajar. Sewajarnya-wajarnya
laki-laki yang bertanggung jawab atas 19 orang perempuan dan 1 orang laki-laki juga
dalam gelap gulita ditengah hutan belantara.
Namun kepanikan,
kekhawatiran, kecemasan, itu terjadi cukup hanya dalam hati, tak terekspresikan
dalam bahasa tubuh. :p
Sesekali barisan
belakang meminta (atau dengan permintaan) ku agar berhenti atau memperlambat
jalan kami. Agar kami lebih merapatkan barisan, agar tak ada yang terpisahkan
satu sama lain.
Sesekali pula kami
berhenti mengecek jumlah anggota, takut-takut ada yang kurang, apalagi jika
lebih. :D
Sekitar 10 km sebenarnya
telah kami tempuh dari sore. Sebentar lagi memang menuju tujuan, dari 12 km
jalan setapak yang harus kami tempuh. Tapi kata sebentar itu terasa amat lama
bagiku. Entahlah, mungkin ini karena perasaan ku yang menyelubungi semenjak
tadi.
Sungguh perjalanan
ini sebenarnya tak lebih melelahkan daripada hujan-hujanan saat ke Baduy
beberapa waktu lalu.
Namun aku lebih
memilih hujan-hujan saja, fikirku.
Walau sebenarnya ‘penderitaan’
hujan-hujanan menyusuri hutan tak lebih baik daripada gelap-gelapan menyusuri
hutan.
Hanya menyusuri
hutan sambil hujan-hujanan dan gelap-gelapan lah yang tak lebih baik dari
keduanya. Karena itulah puncak penderitaan. :D (Naudzubillah, jangang sampe dah)
Dan setelah 1 jam
lebih menyusuri hutan penuh kegelapan, akhirnya kami tiba di tujuan akhir kami,
Kampung Cibeo, salah satu perkampungan Baduy dalam. Suku yang terkenal anti
modernisasinya itu.
“Teman-teman,
Alhamdulillah kita telah tiba di Cibeo. Dibalik jembatan bambu sana
kampungnya.” Ujarku, sambil menunjuk ke arah perkampungan Cibeo yang tak terlihat
karena gelap gulita itu, hingga beberapa dari mereka berbisik tentang letaknya
karena tak dapat melihat kampung yang kumaksud.
Sungguh aku
benar-benar lega. Walau esok harinya harus melewati jalan-jalan setapak yang
tak berbeda jauh dari jalan yang kami lewati tadi. (Memang kami mengambil jalan
yang berbeda saat datang dan kembali).
Namun seberat
apapun itu, aku tak khawatir karena esok kami akan menyusuri hutan-hutan yang
sama saat pagi hari.
Dalam rumah salah
seorang warga Baduy; beratapkan daun-daun Kiray yang disusun rapi,
bertiangkan pohon Mahoni tanpa paku, berpanggungkan bambu Apus yang
besar-besar itu, beralaskan tikar daun Pandan hutan, berlampukan sumbu disulut
api yang diletakan dalam sebuah batok kelapa berisi minyak kelapa yang kemudian
digantungkan ditengah ruangan, satu saja tak lebih, dengan ditambah kehangatan
api sisa perapian dari tungku yang berasal dari kamar sang tuan rumah, aku
mencoba mengenal lebih dekat mereka. Dan menghafal nama mereka terutama. :D
Mereka yang datang
dari berbagai belakang; Mahasiswi, Karyawati, Penulis, hingga Ibu rumah tangga
itu, lebih senang menamakan diri dalam 1
identitas, traveler! Bahkan beberapa dari mereka menamakan diri sebagai
backpacker.
Mereka senang dan
sering melakukan perjalanan. Baik berombongan yang diorganisir bareng-bareng,
ikut agen travel, atau bahkan bepergian sendiri ala backpacker; menentukan
itinery, budgeting dan persiapan sendiri, seperti yang senang aku lakukan.
Ah jarang aku
bertemu dengan perempuan-perempuan seperti mereka.
Yang selama ini ku
kenal adalah perempuan-perempuan yang hanya ingin nyaman saat berpergian, anti
naik kendaraan umum, terutama ekonomi, apalagi kereta, tak mau menempuh
perjalanan jauh, jangankan berhari-hari, satu haripun kewalahan.
Sebelum-sebelumnya, telah terlalu banyak tempat wisata yang mereka kunjungi. Dari wisata alam hingga wisata budaya. Bagi mereka, perjalanan ke Baduy adalah perjalanan wisata nomor kesekian tahun ini, bahkan bulan ini. Walau harus mereka akui, perjalanan ke Baduy adalah perjalanan yang terlalu ‘menyengsarakan’ untuk dilewati dalam hal trek yang dilalui. :D
Sebelum-sebelumnya, telah terlalu banyak tempat wisata yang mereka kunjungi. Dari wisata alam hingga wisata budaya. Bagi mereka, perjalanan ke Baduy adalah perjalanan wisata nomor kesekian tahun ini, bahkan bulan ini. Walau harus mereka akui, perjalanan ke Baduy adalah perjalanan yang terlalu ‘menyengsarakan’ untuk dilewati dalam hal trek yang dilalui. :D
Tapi walaupun
begitu, (beberapa dari) mereka tak merasa kapok untuk kembali kesana.
Bahkan aku
perhatikan ada dari mereka begitu bersemangat dalam menempuh trek yang ada.
Maka, walau
beberapa dari mereka ada yang tersiksa selama perjalanan, hingga ada yang
menyerah bahkan di awalnya, tapi buatku mereka adalah perempuan-perempuan
tangguh.
Dan bagiku pribadi,
perjalanan ke Baduy selalu menambah pengalaman dan pelajaran. Aku belajar
banyak hal kemarin. Mulai dari tentang kesabaran, empati, hingga tentang keegoisan.
Dan perjalanan
kemarin pun begitu menyenangkan sekaligus mengherankan. Bagaimana tidak
mengherankan coba, obat yang terpaksa harus ku bawa dalam perjalanan untuk
menanggulangi sakitku seminggu terakhir ini, yang sempat mengganggu UAS dan hampir
membatalkan perjalanan kemarin, bukannya semakin dibutuhkan malah justru
sebaliknya, tak dibutuhkan lagi sepulang dari sana. :D
Aku sepenuhnya
sembuh!
Alhamdulillah! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar