‘PDG 23’, tertulis jelas di tugu penanda
jarak setinggi satu meter disamping saya. Pusat kota masih sejauh kilometer
yang tertera disana, matahari hampir tenggelam, sedangkan saya masih di perjalanan
yang sebagian besarnya hutan. Akan menginap disinikah saya malam ini?
Saya kembali bergerak. Mengayuh sepeda dengan mengandalkan tenaga yang masih tersisa. Setelah menempuh perjalanan Serang-Cilegon-Anyer-Carita-Caringin-Jiput sejauh 90 km, saya memilih beristirahat sejenak dipinggir jalan. Lebih sering dari sebelum-sebelumnya. Karena rute 15 km terakhir lebih banyak tanjakkan. Jauh berbeda dengan rute yang telah ditempuh dari Serang hingga Carita semenjak pagi.
Hari ini, Sabtu, 15 Juni 2013 adalah hari pertama saya bersepeda berkeliling Banten. Melewati 4 Kabupaten dan 4 Kota di Propinsi Banten dengan mengendarai sepeda. Menempuh jarak kurang lebih 600 km-rute yang cukup panjang bagi pemula seperti saya-dengan tekad ingin melihat Banten lebih dekat, mencoba mengenal Banten lebih dalam.
Sore hari saya tiba di sebuah daerah antara Kecamatan Jiput dan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang. Pegunungan Akarsari terbentang di sepanjang jalan yang saya lewati. Dibawahnya hutan luas dan areal persawahan menghampar. Sebagian berundak-undak, sebagiannya lagi luas menghampar. Sebagian ditanami padi, sebagiannya lagi ditanami tanaman palawija. Sebagian padi hampir menguning, sebagian lagi baru ditanam. Karena ini daerah pegunungan, maka tak aneh jika jalan yang saya tempuh kali ini membuat susah payah dalam mengayuh sepeda. Tanjakan bernama tanjakan Banganga adalah puncak dari kesusahpayahan saya itu. Tanjakan itu begitu masyhur bagi penduduk sekitar Jiput-Mandalawangi. Bagaimana tidak, tanjakan sepanjang setengah kilometer ini kemiringanya hampir 45 derajat. Melihatnya saja sudah ngeri. Tinggi sekali. Dari puncaknya saja saya bisa melihat laut Selat Sunda terbentang luas saat menengok ke belakang. Maka sepedapun mau tak mau harus dituntun. Jangankan sepeda, terkadang ada motor dan mobil yang tak kuat menyelesaikan tanjakan ini sampai akhir.
Beberapa menit menjelang matahari terbenam sebelum adzan maghrib berkumandang, saya menemukan langgar. Sebuah tempat shalat dengan kapasitas sekitar seratus orang. Langgar di Desa Pandat, Kecamatan Mandalawangi, 18 km dari pusat kota Pandeglang ini menjadi pilihan untuk beristirahat malam nanti. Setelah membersihkan diri, shalat dan hendak mencari warung makan, seseorang menghampiri. Seorang kakek tua, berusia sekitar 60-an, bersarungkan, berbaju koko, berkopiah putih, dengan garis wajah yang tak bisa disangkal lagi telah keriput, mendekati saya. Tersenyum. Menyapa. Kemudian bertanya. Saya memperkenalkan diri sebagai mahasiswa yang sedang berkeliling Banten. Kami mengobrol singkat, kemudian ia memperkenalkan diri. “Ibnu Mas’ud,..” diam sepekersekian detik kemudian melanjutkan, “S.Ag.” Sedikit tak percaya lelaki tua di sebuah kampung yang cukup tertinggal ini memiliki gelar. Peduli terhadap pendidikan saya menarik kesimpulan. Padahal Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu dari 113 daerah tertinggal di Indonesia tahun 2013 menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Apa mungkin ini sekarang? Dulu tidak. Ironis, karena ternyata ia satu-satunya sarjana yang ada di desa ini. Dan memang ia begitu dihormati. Entah karena usianya, gelarnya atau karena hal lain darinya yang tidak saya ketahui. Saya lihat itu saat ia mengajak saya mengikuti ngariung selepas maghrib disalah satu rumah warga.
Ngariung merupakan sebuah tradisi umat muslim -terutama di daerah pedesaan- untuk berkumpul dan mendo’akan sebuah hajat bersama-sama. Ngariung dilaksanakan ketika ada sebuah peringatan. Ada muludan saat bulan Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada Safaran saat bulan safar. Ada ruwahan saat bulan Sya’ban. Ada haul untuk mengingat waktu meninggalnya kerabat dekat. Ada juag ngariung ketika hendak menghadapi bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan sekedar saat menempati rumah baru, warga disini seperti warga Pandeglang dan Banten pada umumnya melaksanakan ngariung. Mereka mengundang para tetangga atau warga desa untuk berkumpul dan berdo’a bersama-sama, dipimpin oleh seseorang yang dianggap layak. Biasanya sesepuh atau ustadz. Kemudian pulangnya setiap orang yang hadir mendapat satu jatah berkat. Berkat sendiri adalah makanan dalam satu wadah yang berisi nasi, dan lauk pauknya diatasnya, ditutup daun pisang kemudian dibungkus plastik. Lauk pauknya biasanya berupa ikan mas, daging ayam, telur, mie dan bihun serta kentang.
Rumah panggung dengan berdindingkan bilik bambu menyambut saya dan Abah Mas’ud, begitulah orang-orang desa menyebutnya. Terasnya yang cukup luas telah dipenuhi lelaki berseragamkan pakaian Islami: sarung, baju koko, peci kopiah. Sebagian besarnya telah tua. Hanya segelintir saya temukan anak muda seusia saya disana. Kami dipersilahkan masuk kedalam, begitu juga dengan saya. Duduk di samping para sesepuh desa, dijamu bak tamu kehormatan. Saya duduk tepat disamping kiri Abah Mas’ud. Sedikit memojok ke sudut ruangan berukuran 3x5 meter berdindingkan bilik bambu ini. Saya kaget saat baru saja duduk langsung disuguhi secangkir kopi dan sebatang rokok. Rokok sudah seperti hal wajib sepertinya disini. Sempat menolak karena memang tidak merokok, tapi seseorang disebelah kiri saya mencegahnya. “ambil saja, sudah jatahnya” bisiknya dengan bahasa sunda. Mungkin maksudnya ini sudah dianggarkan oleh pemilik hajat. Maka menolaknya sama dengan memberikan anggaran bukan pada haknya. Tapi tetap saja saya tidak mengambil sebatang rokok itu, membiarkannya begitu saja. Saya hanya menyeruput kopi hitam yang disuguhkan. Pahit. Mungkin karena ini kopi racikan sendiri dan saya tak biasa meminum kopi. Saya makan saja penganan yang telah disediakan di depan kami.
Temaram lampu bolham menyinari kami yang berada di ruangan. Seseorang yang juga telah sepuh yang duduk disebelah kanan Pa Mas’ud membuka secarik kertas dari saku baju koko putihnya. Sang pembaca tahlil itu sebelumnya mempersilahkan Abah Mas’ud, tapi Abah Mas’ud balik mempersilahkan. Mungkin hanya basa-basi untuk menghormati yang lebih tua. Setelah membenarkan kain hijau yang mengalungi pundaknya ia membaca kertas tersebut dengan suara cukup nyaring. Itu adalah nama-nama yang hendak 'dihadiahi' do’a dari kami yang ngariung malam ini. Ternyata sang pemilik rumah sedang melaksanakan ngariung haul. Maka inti dari ngariung ini adalah yang masih hidup mendo’akan yang telah mati. Berkat adalah ungkapan terima kasih dari kerabat yang telah meninggal kepada orang-orang yang telah datang.
Setelah ngariung berakhir, banyak warga yang menawarkan untuk menginap di rumah mereka. Ada yang halus lembut, adapula yang sedikit memaksa. Keramahan yang penuh kehangatan sebetulnya. Namun saya tetap memilih pergi ke langgar untuk beristirahat. Takut merepotkan tuan rumah nantinya. Saya terlelap, setelah sebelumnya menyantap berkat dari ngariung tadi. Tertidur pulas, mengistirahatkan tubuh ini setelah mengayuh seharian untuk melanjutkan petualangan selanjutnya besok pagi.
Saya kembali bergerak. Mengayuh sepeda dengan mengandalkan tenaga yang masih tersisa. Setelah menempuh perjalanan Serang-Cilegon-Anyer-Carita-Caringin-Jiput sejauh 90 km, saya memilih beristirahat sejenak dipinggir jalan. Lebih sering dari sebelum-sebelumnya. Karena rute 15 km terakhir lebih banyak tanjakkan. Jauh berbeda dengan rute yang telah ditempuh dari Serang hingga Carita semenjak pagi.
Hari ini, Sabtu, 15 Juni 2013 adalah hari pertama saya bersepeda berkeliling Banten. Melewati 4 Kabupaten dan 4 Kota di Propinsi Banten dengan mengendarai sepeda. Menempuh jarak kurang lebih 600 km-rute yang cukup panjang bagi pemula seperti saya-dengan tekad ingin melihat Banten lebih dekat, mencoba mengenal Banten lebih dalam.
Sore hari saya tiba di sebuah daerah antara Kecamatan Jiput dan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang. Pegunungan Akarsari terbentang di sepanjang jalan yang saya lewati. Dibawahnya hutan luas dan areal persawahan menghampar. Sebagian berundak-undak, sebagiannya lagi luas menghampar. Sebagian ditanami padi, sebagiannya lagi ditanami tanaman palawija. Sebagian padi hampir menguning, sebagian lagi baru ditanam. Karena ini daerah pegunungan, maka tak aneh jika jalan yang saya tempuh kali ini membuat susah payah dalam mengayuh sepeda. Tanjakan bernama tanjakan Banganga adalah puncak dari kesusahpayahan saya itu. Tanjakan itu begitu masyhur bagi penduduk sekitar Jiput-Mandalawangi. Bagaimana tidak, tanjakan sepanjang setengah kilometer ini kemiringanya hampir 45 derajat. Melihatnya saja sudah ngeri. Tinggi sekali. Dari puncaknya saja saya bisa melihat laut Selat Sunda terbentang luas saat menengok ke belakang. Maka sepedapun mau tak mau harus dituntun. Jangankan sepeda, terkadang ada motor dan mobil yang tak kuat menyelesaikan tanjakan ini sampai akhir.
Beberapa menit menjelang matahari terbenam sebelum adzan maghrib berkumandang, saya menemukan langgar. Sebuah tempat shalat dengan kapasitas sekitar seratus orang. Langgar di Desa Pandat, Kecamatan Mandalawangi, 18 km dari pusat kota Pandeglang ini menjadi pilihan untuk beristirahat malam nanti. Setelah membersihkan diri, shalat dan hendak mencari warung makan, seseorang menghampiri. Seorang kakek tua, berusia sekitar 60-an, bersarungkan, berbaju koko, berkopiah putih, dengan garis wajah yang tak bisa disangkal lagi telah keriput, mendekati saya. Tersenyum. Menyapa. Kemudian bertanya. Saya memperkenalkan diri sebagai mahasiswa yang sedang berkeliling Banten. Kami mengobrol singkat, kemudian ia memperkenalkan diri. “Ibnu Mas’ud,..” diam sepekersekian detik kemudian melanjutkan, “S.Ag.” Sedikit tak percaya lelaki tua di sebuah kampung yang cukup tertinggal ini memiliki gelar. Peduli terhadap pendidikan saya menarik kesimpulan. Padahal Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu dari 113 daerah tertinggal di Indonesia tahun 2013 menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Apa mungkin ini sekarang? Dulu tidak. Ironis, karena ternyata ia satu-satunya sarjana yang ada di desa ini. Dan memang ia begitu dihormati. Entah karena usianya, gelarnya atau karena hal lain darinya yang tidak saya ketahui. Saya lihat itu saat ia mengajak saya mengikuti ngariung selepas maghrib disalah satu rumah warga.
Ngariung merupakan sebuah tradisi umat muslim -terutama di daerah pedesaan- untuk berkumpul dan mendo’akan sebuah hajat bersama-sama. Ngariung dilaksanakan ketika ada sebuah peringatan. Ada muludan saat bulan Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada Safaran saat bulan safar. Ada ruwahan saat bulan Sya’ban. Ada haul untuk mengingat waktu meninggalnya kerabat dekat. Ada juag ngariung ketika hendak menghadapi bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan sekedar saat menempati rumah baru, warga disini seperti warga Pandeglang dan Banten pada umumnya melaksanakan ngariung. Mereka mengundang para tetangga atau warga desa untuk berkumpul dan berdo’a bersama-sama, dipimpin oleh seseorang yang dianggap layak. Biasanya sesepuh atau ustadz. Kemudian pulangnya setiap orang yang hadir mendapat satu jatah berkat. Berkat sendiri adalah makanan dalam satu wadah yang berisi nasi, dan lauk pauknya diatasnya, ditutup daun pisang kemudian dibungkus plastik. Lauk pauknya biasanya berupa ikan mas, daging ayam, telur, mie dan bihun serta kentang.
Rumah panggung dengan berdindingkan bilik bambu menyambut saya dan Abah Mas’ud, begitulah orang-orang desa menyebutnya. Terasnya yang cukup luas telah dipenuhi lelaki berseragamkan pakaian Islami: sarung, baju koko, peci kopiah. Sebagian besarnya telah tua. Hanya segelintir saya temukan anak muda seusia saya disana. Kami dipersilahkan masuk kedalam, begitu juga dengan saya. Duduk di samping para sesepuh desa, dijamu bak tamu kehormatan. Saya duduk tepat disamping kiri Abah Mas’ud. Sedikit memojok ke sudut ruangan berukuran 3x5 meter berdindingkan bilik bambu ini. Saya kaget saat baru saja duduk langsung disuguhi secangkir kopi dan sebatang rokok. Rokok sudah seperti hal wajib sepertinya disini. Sempat menolak karena memang tidak merokok, tapi seseorang disebelah kiri saya mencegahnya. “ambil saja, sudah jatahnya” bisiknya dengan bahasa sunda. Mungkin maksudnya ini sudah dianggarkan oleh pemilik hajat. Maka menolaknya sama dengan memberikan anggaran bukan pada haknya. Tapi tetap saja saya tidak mengambil sebatang rokok itu, membiarkannya begitu saja. Saya hanya menyeruput kopi hitam yang disuguhkan. Pahit. Mungkin karena ini kopi racikan sendiri dan saya tak biasa meminum kopi. Saya makan saja penganan yang telah disediakan di depan kami.
Temaram lampu bolham menyinari kami yang berada di ruangan. Seseorang yang juga telah sepuh yang duduk disebelah kanan Pa Mas’ud membuka secarik kertas dari saku baju koko putihnya. Sang pembaca tahlil itu sebelumnya mempersilahkan Abah Mas’ud, tapi Abah Mas’ud balik mempersilahkan. Mungkin hanya basa-basi untuk menghormati yang lebih tua. Setelah membenarkan kain hijau yang mengalungi pundaknya ia membaca kertas tersebut dengan suara cukup nyaring. Itu adalah nama-nama yang hendak 'dihadiahi' do’a dari kami yang ngariung malam ini. Ternyata sang pemilik rumah sedang melaksanakan ngariung haul. Maka inti dari ngariung ini adalah yang masih hidup mendo’akan yang telah mati. Berkat adalah ungkapan terima kasih dari kerabat yang telah meninggal kepada orang-orang yang telah datang.
Setelah ngariung berakhir, banyak warga yang menawarkan untuk menginap di rumah mereka. Ada yang halus lembut, adapula yang sedikit memaksa. Keramahan yang penuh kehangatan sebetulnya. Namun saya tetap memilih pergi ke langgar untuk beristirahat. Takut merepotkan tuan rumah nantinya. Saya terlelap, setelah sebelumnya menyantap berkat dari ngariung tadi. Tertidur pulas, mengistirahatkan tubuh ini setelah mengayuh seharian untuk melanjutkan petualangan selanjutnya besok pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar