Matahari masih cukup jauh menyentuh laut. Langit dipenuhi gerombolan
awan yang berarak perlahan menyesaki. Menghalangi separuh sang surya
yang hendak menyinari dunia. Hingga pendaran cahayanya pun tak jatuh
sempurna pada hamparan pasir pantai yang sedang kususuri.
Di
kejauhan, aku menemukan sesosok tubuh terpungkur jongkok diatas karang
yang jauhnya seperlemparan tangan dari garis pantai. Sendirian. Aku
mendekat. Dari raut wajah dan perawakannya, tampak seorang anak usia
belasan tahun disana. Ia sedang asyik dengan yang dilakukannya:
memancing. Segera ku ambil kamera saku. Lebih mendekat lagi. Oh, dia
menyambut. Sebuah senyuman dilemparkan.
Aku bersama beberapa teman
sedang menikmati indahnya langit senja pesisir Selat Sunda. Tak lama
setelah tim Mari Mengajar tiba di kampung Camara, Desa Banyuasih,
Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, kami -aku dan beberapa volunteer
memilih pergi ke pantai. Kampung Camara berbatasan langsung dengan laut
yang dari tepinya kita dapat melihat Pulau Umang dan Anak Gunung
Krakatau di kejauhan. Jarak dari base camp kami tak cukup jauh,
sekitar 300 meter saja. Kami tentu senang. Anggap saja ini sebagai obat
dari perjalanan 5 jam dengan rute di akhir yang mengocok isi perut
-dalam arti yang sebenarnya. Dan juga sebagai hiburan awal dari aksi
mengajar 7 hari kami disini.
Saat menghabiskan waktu jelang senja
itulah aku mendapati seorang anak yang begitu asyik memancing diatas
karang. Perawakannya kurus, kulitnya sawo matang. Rambutnya berponi, ah
ia lucu sekali. Jenis lelaki pendiam. Hanya menjawab secukupnya saat aku
tanyakan beberapa hal. Atau mungkin karena ia anak kecil ya? Tapi ia
cukup ramah. Beberapa kali menebar senyum padaku.
Dengan celana boxer kuning, kaos you can see
corak putih kuning dan sebuah wadah berbahan dasar karung terselempang
menyilang tepat di dada, ia berpindah dari satu karang ke karang lain.
Berjongkok, menengok ke sela-sela karang, mencari lubang, mencoba
memangsa makhluk hidup dibalik karang itu dengan mengandalkan joran
sederhana beserta gulungan benang miliknya. Ia juga cukup lihai dalam
memancing. Dapat kulihat dari banyaknya tangkapan yang di dapat.
Mataku
mengikuti ke arah mana ia berjalan. Dari jauh aku memperhatikan.
Diantara karang-karang laut ia tengah mencari. Aku terdiam menikmati
pemandangan langka ini.
“Strike..!” tiba-tiba aku berteriak sendiri dari kejauhan.
Ia, yang kemudian aku ketahui bernama Ludin, tenang-tenang saja. Ia,
yang umpannya ditarik sejenis belut, menariknya dengan tak tergesa.
Sejenis belut laut berhasil mengait kail milik Ludin yang berumpankan
keong. Laladot ia menyebutnya. Entah apa dalam bahasa
Indonesianya binatang laut itu. Aku tak tahu. Persis seperti
teman-temannya yang lain yang ada didalam wadah yang ia bawa: Pabalata dan Nyai-nyai. Keduanya nama sejenis ikan laut. Tiga jenis saja yang ia dapat, tapi jumlahnya lebih dari tiga kali lipatnya.
Katanya
ia senang sekali memancing setiap sore. Sendirian. Pada saatnya nanti
akan ada penjelasan –dan mungkin juga alasan, tentang rutinitas tiap
sorenya itu. Mengetahui itu, aku berencana menemuinya esok hari. Secara
tidak langsung kami telah membuat kesepakatan untuk kembali bertemu. Ya,
esok kami akan bertemu kembali di tempat yang sama dimana kami bertemu.
Aku masih ingin tahu banyak tentang dirinya. Tentang sikap kalemnya
sesorean ini. Tentang kehidupannya bahkan.
Awan gelap telah melukis birunya langit senja yang juga perlahan berubah warna. Kami pulang menjemput malam. Bersama menuju basecamp.
Aku masih penasaran tentang hari esok. Aku sibuk dengan terka-menerka
tentang masa datang. Akankah aku mengajar di kelas 4 SDN Banyuasih 4
tempat ia bersekolah setiap harinya? Dapatkah aku mengetahui lebih
banyak tentang kehidupan bocah 10 tahun itu? Akankah aku mengenal
keluarganya saat home visit nanti? Adakah rahasia miliknya yang akan ku
ketahui? Adakah peluang ke arah semua itu? Aku harus menyimpan
terka-terkaan itu setidaknya hingga malam nanti.
1 komentar:
jadi yang menarik perhatian ini ya... :)
Posting Komentar