Senja tadi kau datang. Membawa setangkup harap dalam barisan kata. Aku penasaran akan apa yang ada di dalamnya. Sejenak ingin kuperiksa. Ah, tapi untuk apa? Kau bukan siapa-siapaku kan?
Tapi, kau sudah terlanjur hadir di hadapanku membawa semuanya. Haruskah kubiarkan? Tak sopan sekali aku padamu. Baik, kuambil saja.
Tapi, kau sudah terlanjur hadir di hadapanku membawa semuanya. Haruskah kubiarkan? Tak sopan sekali aku padamu. Baik, kuambil saja.
Malamnya kau menyapa. Menjadi sebuah bayang dalam tempias hujan. Aku sejenak ragu menemui.
Tapi begitulah dirimu, pada akhirnya selalu berhasil membuatku menyerah dan memaksaku membukakan pintu.
Sofa dalam ruang tamu membisu. Semenjak tadi ia memperhatikanku. Musik di luar pun penuh gemuruh. Tak biasanya hujan sedengki ini padaku. Aku curiga, jangan-jangan mereka berdua cemburu.
Secangkir teh aku ajak untuk menemaniku menemuimu.
"Kenapa kita berdua begitu kikuk?" Tanyaku padamu, dalam hati.
"Mungkin karena kita saling malu." Aku yakin itu jawabanmu.
"Tapi itukah alasanmu datang padaku malam ini? Hanya membawa sebuah kekikukan?" Aku kembali bertanya, dalam gumam.
"Lalu sebagai tuan rumah, inikah yang kau suguhkan?" Ia sepertinya mendengar apa yang kugumamkan.
Ia pergi tanpa salam. "Tak sopan!" Sambil menyerukan itu dalam hati, aku justru menertawai diri sendiri yang tetap memandanginya dari kejauhan. Seiring dengan ia yang hilang tenggelam di kegelapan malam dan derasnya air hujan.
*untuk sebuah senja di awal Februari, tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar