Senin, 20 April 2020

Perhitungan Kimia Sederhana

Perhitungan kimia sederhana (pict: www.news.miami.edu)
Setelah mempelajari konsep mol, tiba saatnya kita menerapkannya dalam persamaan reaksi. Materi ini seringkali disebut perhitungan kimia sederhana. Perhitungan kimia sederhana merupakan perhitungan jumlah suatu zat yang diperlukan/dihasilkan dalam sebuah reaksi dimana salah satu zat dalam reaksi itu telah diketahui. Perhitungan kimia sederhana dapat diselesaikan melalui 4 langkah berikut:

1.   Menuliskan persamaan reaksi setara, atau menyetarakan persamaan reaksi.
2.   Mengubah zat yang diketahui ke dalam mol
3.   Menentukan mol yang ditanyakan berdasarkan perbandingan koefisien
4.   Menyesuaikan/mengubah mol ke jumlah zat yang dibutuhkan/ditanyakan

Agar lebih jelas, langsung saja kita lihat contoh berikut!

Contoh Soal!
Sejumlah 12,4 gram Posfor direaksikan dengan Oksigen sesuai reaksi:
P4 + O2 à P2O3
Tentukanlah massa P2O3 yang dihasilkan! (Jika diketahui Ar P = 31, Ar O = 16)
Jawab:
Yang ditanyakan adalah massa P2O3
Ingat 4 langkah tadi. Kita lakukan satu demi satu, dan harus berurutan!
1.   Setarakan dulu persamaan reaksi.
P4 + O2 à   P2O3 (belum setera)
P4 + 3O2 à 2P2O3  (setelah disetarakan)

2.   Setelah itu, ubah zat yang diketahui ke dalam mol.
Karena yang diketahui adalah massa P4, maka:
mol P4 = massa P4 : Mr P4
mol P4 = 12,4 : 124
mol P4 = 0,1 mol

3.   Menentukan mol zat yang ditanyakan. (Dalam soal ini adalah P2O3)
Cara menentukannya dengan perbandingan koefisien:
mol zat ditanya = (koefisien zat ditanya : koefisien zat diketahui) x mol zat diketahui
mol P2O3 = (koefisien P2O3 : koefisien P4) x mol P4
mol P2O3 = ( 2 : 1 ) x 0,2
mol P2O3 = 0,2 mol

4.   Terakhir, ubah mol tersebut ke jumlah zat yang ditanyakan.
Yang ditanyakan adalah Massa P2O3 yang dihasilkan, maka:
Massa P2O3 = mol P2O3 x Mr P2O3
Massa P2O3 = mol P2O3 x (Ar P x 2) + (Ar O x 3)
Massa P2O3 = 0,2 x (31 x 2) + (16 x 3)
Massa P2O3 = 0,2 x (62+48))
Massa P2O3 = 0,2 x 110
Massa P2O3 = 22,0 gr
Maka jawabannya, massa yang dihasilkan dari reksi 12,4 gram posfor dengan oksigen menurut reaksi: P4 + O2 à P2Oadalah 22,0 gram senyawa P2O
Bisa dipahami?


*Materi ini ditulis sebagai materi pembelajaran online siswa-siswi SMA/MA di masa COVID-19. Semoga wabah dan musibah ini segera berakhir.

Minggu, 08 Maret 2020

Hari Lahir


Tangis seorang bayi pecah di sebuah ruang ukuran 10 x 5 meter pada sebuah rumah sakit di salah satu kota. Bersamaan dengan itu, pecah pula tangis seorang lelaki muda bersama istri di sampingnya yang masih terbaring kesakitan di atas dipan. Tapi ini bukan tangis kesakitan, namun tangis kebahagiaan. Tangis sepasang suami istri setelah penantian yang cukup panjang. Sepanjang 3 kali kehamilan dan 3 kali pula disertai kegagalan. Inilah ia anak pertama dari keduanya yang lahir pada Sabtu, 7 Maret 2020 M atau Ahad, 13 Rajab 1441 H saat jarum jam menunjuk pada angka 8 lewat 15 menit malam hari. Mohon do'a agar ia menjadi manusia sebaik namanya: Dzakky Muttaqin Nurmadani.

Tertanda,
Sang suami beserta istri

A. Anwar Sanusi & R. Ifah Kholifah P.

Jumat, 18 Januari 2019

Setahun di Madani

Pintu gerbang ini masih sama dengan pintu gerbang yang pertama kali menyambut seorang anak SMP yang baru saja kehilangan harapan masuk SMA, hampir 14 tahun lalu. Dengan diantarkan guru-guru SMP dan ibunya, anak itu serasa mimpi bisa masuk melalui pintu gerbang ini.

Ilalang ini adalah ilalang yang sama dengan ilalang yang kutinggalkan lebih dari 10 tahun lalu. Ilalang terlebat dan tertinggi yang pertama kali kutemui yang musim berbungnya selalu dinanti. Bunga padang ilalang adalah salah satu pemandangan terindah di sini saat itu, pun hingga kini.

Tanah ini masih tanah dengan bau khas Tanah Madani yang sama seperti dulu. Ia akan semakin khas saat hujan lebat baru saja pergi, dan akan nampak makin indah saat datang kabut pagi-pagi sekali.

Langit ini adalah langit yang sama dengan langit lebih dari satu dekade dulu. Langit biru dengan iringan gumpalan awan seputih susu, dibatasi gunung karang menjulang di satu tepi dan barisan pegunungan indah rendah di tepi yang lainnya.

Pun langit malamnya adalah langit malam yang sama, langit hitam pekat yang selalu penuh bintang gemintang setiap malamnya, yang selalu menjadi penghias belajar malam-malam panjang 156 purnama lalu.

Matahari pagi ini pun adalah matahari yang sama dengan matahari yang selalu membuat takjub, yang mengobarkan api semangat dalam memulai hari, yang membuat salah satu dari kami selalu mengepalkan tangan dan berteriak kalimat “Allahu Akbar” setiap kali ia meninggalkan asrama menuju kelas lebih pagi dari yang lain, hampir dua windu lalu.

Masjid ini barangkali bukan masjid yang sama dengan masjid yang aku dan teman-teman sebut Masjid Sangkuriang karena dibangun begitu cepat seperti hanya dalam semalam. Tapi aura masjid ini masih sama dengan masjid dulu yang selalu menjadi tempat tafakkur, tadabbur, dan tempat paling banyak bersyukur. Kini pula ia telah bernama: Masjid Al-Madani.

Tanah lapang yang dulu penuh ilalang, yang pernah kami bersihkan bersama salah satu ustadz saat itu, kini telah berdiri asrama baru. Tepat di belakangnya berjejer empat mess untuk guru. Di salah satu mess itu kini menetap saya bersama istri tercinta.

Walau pasti pada banyak hal berbeda dan berubah, tapi ini tetaplah Tanah Madani, tanah yang dengan pesona dan kenangannya selalu mengundang kerinduan. Kerinduan yang begitu berat pada beberapa saat.

Madani yang sekarang, memang bukan Madani yang dulu. Bukan Madani yang seperti saya bayangkan, saya rasakan, dan saya banggakan seperti dulu. Tapi tanah ini adalah tanah impian. Tanah yang begitu saya mimpikan untuk dapat hidup kembali, sebagai apapun, di dalamnya.

Tanah Madani, Januari 2019

Selasa, 07 Agustus 2018

Untuk Sebuah Nama

Begitu banyak aku pernah merasakan kehilangan: cita-cita, keluarga, seseorang, harapan hingga kepercayaan. Namun tak pernah kubayangkan akan kehilangan seseorang yang bahkan belum dilahirkan. Dari sekian banyak kehilangan, barangkali ini adalah kehilangan yang paling menyedihkan untuk dirasakan.

Begitu banyak kepahitan yang pernah aku rasakan selama hidup ini: diusir dari rumah sendiri, dibakar dengan sengaja semua harta benda yang dipunyai, ditinggal ayah kandung sejak dalam buaian, hingga gagal masuk perguruan tinggi padahal telah lulus seleksi.  Barangkali apa yang kurasakan saat ini bisa menambah daftar panjang kepahitan yang pernah aku alami.

Barangkali, aku masih belum mampu menanggung amanah-amanah kecil yang selama ini diberi, hingga bagaimana jika diberikan amanah yang lebih besar nanti.

Bisa saja, shalat shubuh dan shalat wajibku masih seringkali tak tepat pada waktunya, hingga menjadi orang tua yang tak dapat menjadi teladan dalam urusan shalat adalah perkara berbahaya.

Kemungkinan, dalam harta yang kudapatkan, masih ada ketidakberkahan atau bahkan harta haram hingga itu tak layak diberikan pada ia yang hendak dilahirkan.

Untukmu, yang belum bernama, semoga saja berjumpa di surga.

Medio dua ribu delapan belas masehi.

Jumat, 05 Januari 2018

Belajar Dari Teman

Begitu banyak orang belajar dari kesuksesan orang lain, tapi tak sedikit pula orang yang belajar dari kegagalan orang lain. Memang seperti itulah harusnya kita: belajar dari orang lain. Karena benar kata orang-orang, usia kita di dunia tak akan cukup untuk menjalani semua hal dalam hidup.

Pun begitu dengan diriku, aku belajar dari seorang rekan. Aku tak bisa menyebutnya sebuah kesuksesan, juga tak ingin menyebutnya kegagalan.

Masih jelas dalam ingatanku saat itu, akhir 2008, setengah tahun setelah kelulusanku dari SMA, saat aku mendapat berita yang menyentak. Aku terkesiap mendengar kabar dari seorang kawan baik.

Kabar itu membawa ingatkanku kembali ke masa awal SMA, sekitar 3 tahun sebelumnya. Memori tentang rekanku itu, saat kami satu kelas. Dia seperti ingin menyerah saat itu, dan aku yakin dia akan menyerah karena merasa dirinya berada paling rendah. Dia menangis, dia tak tahan. Tapi aku coba yakinkan, sebisaku.. Hingga kemudian dia begitu gigih belajar, segigih-gigihnya. Aku tahu itu. Aku dapati bukti saat kelulusan, dia yang menempati posisi pertama dalam nilai ujian tertinggi.

Ah..! dia begitu hebat. Saat itu aku bangga pada dia sebagai seorang teman. Dia diterima di perguruan tinggi favorit. Sayangnya kebanggaanku itu runtuh saat jelang 2009, dia berhenti kuliah.

Aku sungguh sedih, tak tertahan. Aku yang sebenarnya tak terlalu ingin dan peduli pada bangku perkuliahan, detik itu juga aku menghujamkan sumpah pada diriku, tahun depan aku harus kuliah! Ini semacam dendam, entah pada apa atau siapa. Orang-orang menyebutnya ini dendam pada kehidupan. Aku tak ingin menyebutnya seperti itu. Dendam kok pada kehidupan?

Maka asal kau tahu, rekanku yang satu itu, adalah salah satu alasan, -dari sekian banyak alasan, dulu aku bisa bertahan hingga lebih dari 10 semester perkuliahan. Lalu lulus dengan predikat yang katanya amat memuaskan.

Aku ingin mengingat masa-masa perjuangan yang penuh kegigihan itu di tanah Madani, tanah perjuangan. Maka salah satu alasan juga kembalinya aku ke Cahaya Madani adalah untuk mengingat masa penuh perjuangan.

Jumat, 08 Desember 2017

Perusak Kebahagiaan

Kebahagiaan datang dan pergi silih berganti. Kadang cukup lama menyinggahi, kadang hanya sebentar menghampiri. Ia datang bisa diundang, bisa juga tidak; bertahan lama atau hanya sejenak, dan pergi sesuka hatinya. Kebahagiaan bisa datang karena satu hal, juga bisa rusak lalu pergi karena hal lain.

Ada kalanya kita disekap sebuah rasa saat melihat apa yang tidak ada dalam diri kita. Di saat bersamaan dia yang kita lihat juga memiliki rasa yang sama dengan apa yang kita rasa. Dia yang kita anggap memiliki kesempurnaan dan  memiliki kelebihan, juga melihat pada kita apa yang tidak ia miliki dan punya. Baik hal materi atau pun hal lain.

Pada akhirnya kita sadar bahwa kita, manusia, selalu punya sifat bawaan: pandai memandingkan. Bahwa ternyata kita begitu ahli dalam membandingkan kekurangan kita dengan kelebihan orang lain. Kita sangat lihai menghitung apa yang kurang dari diri sendiri, lalu membandingkan dengan mereka yang memiliki apa yang kita tak punyai.

Kepandaian itu pada akhirnya mengundang sebuah rasa: iri. Kadang saling iri satu sama lain. Kita iri pada seseorang yang di saat bersamaan ia juga iri pada kita. Lucu bukan? Begitulah yang sering kita temukan dalam kehidupan. Banyak dari kita dijangkiti penyakit iri terhadap kehidupan seseorang. Hingga lahir peribahasa, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Padahal kita tak pernah tahu bahwa sang tetangga yang rumputnya terlihat lebih hijau itu juga merasa iri melihat rumput rumah kita terlihat lebih lebat dan rapi dari pada rumput miliknya.

Pada akhirnya sifat iri yang menggerogoti hati ini adalah pangkal dari perusak kebahagiaan. Kebahagiaan kadang rusak oleh sikap kita membanding-bandingkan. Benarlah bahwa membandingkan adalah aktifitas tak berkesudahan, dan juga melelahkan.

Bukan mencegah untuk tidak maju, tapi setiap dari kita telah ada porsi masing-masing yang telah disediakan. Jalan yang kita tempuh tak selamanya lurus tanpa tikungan, bisa jadi bahkan berputar jauh dulu ke belakang. Hingga akhirnya akan tiba pada tujuan.

Ingat-ingatlah pada sebuah nasihat dan sebuah pesan baginda kita bahwa jika pun harus membandingkan, bandingkanlah diri sendiri: yang dulu dengan yang sekarang; dan jika pun harus iri, irilah pada dua orang: dia yang diberi kelimpahan harta namun lebih banyak diinfakkan pada jalan kebaikan, dan dia yang dikaruniakan ilmu namun lebih banyak diajarkan dan diamalkan.

Pandeglang, penghujung 2017 masehi di bawah rintik hujan.



Jumat, 25 November 2016

Surat untuk Perbankan Syariah

Harus kita akui, bahwa ada sebuah dikotomi yang terjadi di negeri ini. Diawali dari dunia pendidikan dimana terjadi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Keduanya seolah berdiri sendiri tanpa adanya saling keterkaitan satu sama lain. Ilmu umum ya ilmu umum, ilmu agama ya ilmu agama. Benar-benar terpisah. Masih terekam dalam ingatan kita bagaimana ketika kita masih menempuh pendidikan di sekolah dasar atau pun menengah, sulit untuk menemukan perihal agama dalam pelajaran ilmu alam, bahkan menjadi mustahil kita temukan kata Allah dalam pelajaran ilmu sosial. Pun begitu yang ada dalam ilmu ekonomi. Yang kita pelajari hanya nilai-nilai penuh kebebasan tentang ekonomi, ajaran-ajaran yang menumbuhkan sikap materialistik, dan konsep yang menganggap manusia sebagai faktor produksi semata.

Hal ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, namun kemudian merambat ke dunia kerja. Orang-orang hanya semata-mata mencari harta dalam bekerja. Tak ada motivasi ibadah dalam melakukan pekerjaan yang mereka geluti. Lebih memprihatinkannya lagi banyak yang tak mempedulikan aspek agama dalam mencari nafkah, sehingga terkadang menghalalkan segala cara. Yang terpenting mendapatkan uang untuk dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga. Buah dari pendidikan yang mengajarkan materialistik tadi.

Lahirnya International Development Bank (IDB) tahun 1975 di dunia internasional, dan Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 di negeri kita, menjadi tonggak bangkitnya kembali Ekonomi Islam yang selama ini seolah menghilang entah kemana. Bagi saya, bangkitnya Ekonomi Islam sama halnya dengan pudarnya dikotomi ilmu yang berlangsung berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun di negeri ini -yang merupakan warisan kolonial penganut paham imperialis dan liberalis. Mengapa? Karena Ekonomi Islam merupakan perpaduan ilmu umum (ilmu ekonomi) dan ilmu agama (fiqh muamalah dan ushul fiqh).

Implementasi awal dan paling nyata dari ilmu Ekonomi Islam ini adalah perbankan syariah. Perbankan syariah dalam bayangan saya, menjadi wadah setiap orang untuk beribadah. Ketika orang-orang ingin menabung, mereka benar-benar memperhitungkan agama dalam memilih tempat menyimpan uang mereka. Mereka ingin agar harta mereka dikelola secara syariah Islam. Begitu juga dalam melakukan pengajuan pembiayaan, ada harapan yang sama dalam benak mereka. Dan bagi orang-orang yang berada di bank syariah sendiri pun, mereka tidak hanya sekedar memperhitungkan gaji yang besar, namun melihat keberkahan dari gaji yang mereka dapat, sehingga harta yang digunakan untuk menafkahi keluarga pun menjadi berkah. Ada unsur agama dan motivasi ibadah yang masuk kedalam ranah ini.

Amatlah begitu besar harapan saya terhadap keberadaan perbankan syariah dalam upaya mereduksi bahkan menghilangkan dikotomi yang telah mengakar di semua lini di negeri ini. Walau butuh waktu yang tidak sebentar, saya sangat optimis hal tersebut akan tercapai. Saya sudah muak berabad lamanya kita menjadi manusia materialistis. Hanya semata-mata mengejar harta dan mengedapankan nafsu dalam mencari penghidupan di dunia ini. Padahal kita adalah khalifah yang Allah tugaskan untuk mengelola segala yang ada di dunia ini sebagai bentuk ibadah kita padaNya.

Saya berharap kedepannya perbankan syariah benar-benar mempertahankan prinsip-prinsip syariah dalam produk-produk yang dimilikinya. Bukan hanya menyesuaikan kebutuhan pasar tanpa mengindahkan prinsip-prinsip syariah tersebut. Demi mengejar keuntungan semata. Maka yang terjadi nanti, bukannya pasar yang menyesuaikan prinsip syariah, namun malah prinsip syariah yang menyesuikan pasar sehingga pudarlah kesyariahan bank syariah tersebut. Dan pudarlah harapan saya -dan mungkin harapan sebagian besar orang, yang begitu besar terhadap perbankan syariah dalam memajukan Ekonomi Islam sebagai bagian dari upaya memadukan ilmu umum dan ilmu agama.

Senin, 24 Oktober 2016

Dialah Kakekku

Ia adalah orang yang mengajariku agar jangan pernah menyerah pada apapun, siapapun dan bagaimanapun keadaan. Yang menanamkan semangat melakukan hal-hal yang orang lain anggap tidak mungkin untuk membuka sebuah kemungkinan. Yang telah mengisi dan menggantikan sosok yang teramat penting dalam kehidupan. Dan yang secara tidak langsung menanamkan karakter-karakter positif dari apa yang ia lakukan. Ya, dialah kakekku: Mahbub bin Abdul Fakar.

Namun kini ia telah sampai di akhir perjalanan. Usianya telah dicukupkan, rezekinya telah disempurnakan, kesempatan beribadahnya sudah tak lagi diberikan. Karena malaikat penjemputnya telah datang, tadi siang.

Maka kini, tak akan ada kisah masa muda heroik nan berapi-api yang dapat diceritakan lagi: kisah anak muda yang mengajak pembangunan mesjid pertama desa dengan bergotong-royong dengan seluruh warga; kisah pengalaman mondok dari satu pesantren ke pesantren lain, mencari satu guru dari daerah satu ke daerah lain; juga kisah-kisah lain mulai dari ikut pemugaran benteng Surosowan dengan berjalan kaki berhari-hari, hingga kisah mengadili seorang anggota PKI.
 
Jasadnya telah dikuburkan, namanya hanya tinggal aksara di atas batu nisan. Ia telah dijemput kematian, jelang adzan dzuhur berkumandang.
 
Namun kisah-kisah selama ia hidup akan tetap membersamai anak-cucunya. Nasihat-nasihat dan pelajaran hidupnya akan tetap dikenang selama-lamanya. Jasa dan cerita-cerita tentangnya akan tetap hidup di antara warga desa.
 
Ia yang senang berbagi dan bercerita, kini sudah tak dapat berkata-kata, selama-lamanya.
 
Maka kisah masa-masa kejayaan kesultanan Banten yang sering diceritakan berulang-ulang ketika berkunjung ke kampung halaman sudah tak bisa didengar lagi. Pun dengan beribu kisah tentang suku Baduy yang diceritakan langsung dari teman seorang puun Cibeo saat muda itu kini tak akan ada lagi. Yang ada hanya potongan tak utuh dalam ingatan tentang cerita-cerita tadi.
 
Kini kisah hidupnya telah diakhiri. Ia telah dipanggil Illahi.
 
Maka berakhir pula kisah sang pembelah bukit yang membuat gempar orang-orang satu desa. Barangkali benar kata mereka, sungai Ciujung tak pantas dan takkan pernah dapat ‘diotak-atik’. Ada yang tak rela tempatnya diusik. Meski aku tak pernah percaya akan hal itu.
 
Memori seorang anak kelas 1 SD yang terheran-heran dengan kapal laut yang dilihatnya dari dalam kereta bersama kakeknya sebagai pengalaman pertama, kini hanya tinggal sebuah cerita. Juga ingatan si anak yang takjub pada gemerlap Ibukota Jakarta saat diajak pertama kali oleh sang kakek akan menjadi kenangan tak terlupa. Hanya, kini setelah dewasa si anak justru malah tak tertarik pada Ibukota.
 
Sang kakek itu telah tiada. Namun memori tentang sang kakek dan cucu kesayangannya itu tak akan pernah sirna.
 
Pada akhirnya, kita pun akan menyusul mereka yang telah meninggalkan kita lebih dulu. Ini hanya soal waktu. Kita hanya bisa berdoa semoga dapat dikumpulkan di tempat yang sama: sama-sama mulia.

Terima kasih yang tak terhingga karena telah mendidik dari kecil hingga saat ini. Terima kasih telah menjadi kakek sekaligus ayah bagi cucumu ini. Terima kasih telah tidak membiarkan sosok yang aku butuhkan hilang. Terima kasih telah menginspirasi. Selamat jalan, Abah. Sampai jumpa!
 
Antara Serang - Ciboleger, 22 Muharram 1438 H

Jumat, 23 September 2016

Bekal Pulang

“The most important thing in this life is not this life.” – A. Riawan Amin
Hidup adalah sebuah perjalanan. Begitu kata orang. Kita menempuh satu dua rute untuk menuju satu dua tujuan. Kita jatuh-bangun-tegak-berdiri untuk meraih beberapa capain yang diinginkan. Rute dengan jalan-terjal-aral-merintang menghadang selama beperjalanan. Susah-senang-suka-duka pun dialami dalam menjalani kehidupan. Ya, hidup memanglah sebuah perjalanan.
 
Yang kemudian perlu selalu kita ingat bahwa perjalanan ini tak akan terjadi selamanya. Hanya sementara. Akan tiba masa kita harus kembali pulang, ke kampung halaman kita sesungguhnya. Maka sudah seharusnya ada yang kita bawa. Bukan karena itu adalah buah tangan untuk sanak saudara, tapi dalam perjalanan ini kita memang diharuskan membawa bekal sebagai prasyarat menjalani kehidupan selanjutnya. Hidup di kampung halaman, selamanya. Sebaik apa bekal kita, sebaik itu pula hidup kita di sana, pun begitu sebaliknya.
 
Keindahan dan kesenangan selama beperjalanan seringkali membuat kita lebih fokus pada perjalanan dan lupa pada apa yang harus dipersiapkan untuk pulang. Hingga kadang kita berfikir bahwa apa yang sedang dijalani saat ini akan selamanya dinikmati.
 
Menjadi lucu jika kita terlalu menikmati perjalanan hingga lupa membeli tiket pulang. Bahkan lupa pada pulang itu sendiri. Lupa bahwa kita punya tempat pulang yang sesungguhnya. Dan itulah sebenar-benarnya tujuan perjalanan. Beperjalanan untuk kembali pulang. Sejatinya tiket pulang sudah seharusnya dipersiapkan semenjak dini. Persiapan bekal untuk dibawa pulang tak harus ditunda-tunda nanti. Karena perjalanan ini, kita tak pernah tahu kapan akan diakhiri.
 
Sungguh hidup ini hanya sekejap. Perbandingannya hanya dua jam menurut perhitungan akhirat. Tak lebih dari dua jam bahkan. Maka kemudian Rasulullah menggambarkan bahwa kita dalam menjalani hidup, layaknya seorang pengelana yang duduk beristirahat sejenak di bawah rindangnya pohon lalu kemudian meninggalkannya. Hanya beristirahat sejenak, tak sampai terlelap, apalagi menetap. Namun rindang dan sejuknya naungan pohon saat terik sinar matahari kadang bisa menjadi serasa surga.
 
Maka setelah sampai sejauh ini menempuh perjalanan, sudah sebanyak apa persiapan bekal kita untuk pulang? Sekali lagi, kita tak pernah tahu kapan perjalanan ini akan diakhiri. Entah nanti, atau beberapa saat lagi.

Jumat, 26 Agustus 2016

Rezeki

Sama halnya dengan kebahagiaan yang tak selalu diukur dengan harta bergelimang, rezeki pun tak selalu diukur dengan besarnya gaji setiap bulan. Ada yang digit gajinya hingga delapan, namun di akhir bulan selalu merasa kekurangan. Namun ada pula yang penghasilannya jutaan awal bahkan kurang, namun selalu Allah cukupkan dalam kebutuhan.

Rezeki pun sebenarnya tak harus selalu diidentikkan dengan uang dan materi. Uang yang kita cari demi transaksi kita yang harus terus dibiayai, bukanlah satu-satunya bentuk rezeki yang kita miliki. Ada yang dilimpahi kekayaan hingga tujuh turunan namun hidupnya jauh dari ketenangan, memiliki teman hanya karena kepentingan, ilmu yang didapat tanpa kebermanfaatan dan pengamalan, sahabat dan tetangga pun yang seperti tak punya. Namun ada yang hidupnya sederahana dalam harta, namun sahabat dan teman karibnya dimana-mana, segudang ilmunya dan sering dimintai pula, keberadaannya selalu dibutuhkan setiap tetangga.

Dalam hal bekerja, rezeki dicari dan dijemput semampu dan sekuat kita berupaya. Ikhtiar dijalankan tanpa harus memaksakan dan meninggalkan kewajiban: pada sesama dan pada Allah ta’ala. Tugas kita hanyalah memaksimalkan segala upaya dan memperbanyak segala doa, perkara hasil bagaimana adalah bukan urusan kita sesungguhnya.

Rasa-rasanya makhluk terbaik untuk kita belajar darinya tentang hakikat rezeki dan ikhtiar memanglah cicak. Andai kita jadi cicak, barangkali setiap harinya kita akan sesak. Bagaimana tidak, hampir seluruh makanannya adalah binatang yang bisa terbang. Sedangkan ia, jangankan sayap, melompat pun ia tak bisa. Apakah kemudian ia memaksakan untuk meloncat dan berharap dapat terbang hingga mengabaikan kodratnya sebagai ciptaan Tuhan? Kita hanya dapat berikhtiar hingga batas maksimal kita bisa, perkara rezeki, sekali lagi, ia datangnya dari mana, itu ranah Yang Kuasa.

Sejenak mari kita melihat jauh ke belakang, bagaimana sayidina Umar menghadiahkan tanah ladang miliknya pada jalan Allah karena berladangnya membuat ia tertinggal shalat. Lalu bagaimana kita yang bahkan dengan mudahnya meninggalkan shalat karena pekerjaan yang tak habis-habisnya.

Maka sudah yakinkah akan bahagia saat bergelimang harta? Sudah siapkah bahwa selain kemiskinan, kekayaan pun salah satu bentuk ujian seperti yang Rasul kita takutkan: “Demi Allah bukanlah kemiskinan yang paling aku takutkan menimpa kalian, akan tetapi aku yang aku takutkan adalah dihamparkan kepada kalian kekayaan dunia, sebagaimana telah dihamparkan kepada umat sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba mendapatkannya hingga kalian binasa sebagaimana mereka binasa.” Naudzubillah.

Jumat, 22 Juli 2016

Mulai dari Nol

Ini adalah permulaan. Aku dari yang tak punya apa-apa, bukan siapa-siapa, belum menjadi apa-apa, dengan lancang menghadap ibumu sendirian dengan hanya bermodalkan cinta. Omong kosong macam apa coba? Tapi kau tahu, jawaban dari ibu (dan ayahmu) tak pernah aku sangka: selama kau bisa mencintai anakku seperti aku mencintanya, silahkan saja. Bawa ia.

Ini adalah perkara yang tak hanya melibatkan dua orang: kau dan aku. Bukan. Ini adalah perkara yang mengikutsertakan dua keluarga besar. Negara dan agama juga bahkan ikut di dalamnya. Bahkan kabarnya ada malaikat hadir saat akad terucap. Maka kemudian hubungan ini tak hanya harus direstui penduduk bumi, tapi harus direstui penduduk langit juga.

Ini adalah iftitah. Jalinan hubungan ini membuka segala pintu kabarnya: rezeki, amal baru, saudara, keluarga, bahkan mungkin dunia baru yang berbeda dari sebelumnya. Tapi dari semua itu, sederhana saja bagiku: adalah ketika kau akan nantinya selalu mengingatkanku untuk mendekatkan diri pada-Nya. Karena kau adalah salah satu jalan bagiku menuju surga. Kau bagiku adalah ladang mengumpulkan pahala. Bukankah bergenggaman tangan saja kita sudah mendapatkan ganjaran dari-Nya? Atau selain dari itu, keberadaan kita diakui oleh tetangga dan masyarakat sekitar kita.

Ini adalah sebuah awal. Aku bersamamu seperti mengatur ulang hidup yang akan dijalani ke depan. Merencanakan kembali dimana akan tinggal dan mencari nafkah, dengan cara apa dan lahan seperti apa mengais rezeki, bagaimana mengamalkan ilmu yang dipunyai dan dalam bentuk apa pada masyarakat kita mengabdi, dan hal-hal lebih kecil lainnya yang dibicarakan dan direncanakan bersama.

Ini rasa-rasanya seperti hidup baru. Memulai dari rumah baru, (bagimu) pekerjaan baru, tetangga baru, rencana-rencana baru, petualang-petualang baru, pun dengan masalah-masalah baru. Bukan tak mungkin nanti banyak aral merintang datang. Tapi apapun yang tejadi, percayalah akan selalu ada aku di sisi.

Orang-orang memulainya dari nol, aku dengan terus terang dan sedikit agak malu mengakui bukan hanya dari nol, bahkan dari minus.

Jumat, 03 Juni 2016

Ada Kenangan di Kampung Papandayan


Saya duduk dengan hati-hati di atas tumpukkan karung berisi satu setengah ton wortel bercampur tanah basah di luarnya. Bersama enam penumpang lain dan hujan gerimis khas pegunungan, kami diantarkan sebuah mobil pick up menuju pusat kota dari sebuah kampung kecil di kaki gunung Papandayan. Sejauh 30 km berkendara dengan jarak tempuh lebih dari dua jam, sejauh mata memandang hanyalah kebun teh hijau menghampar luas yang kami lihat. Jalan yang sebagian besar berbatu membuat perjalanan begitu menyiksa dan luasnya kebun teh ini seperti tiada habisnya. Kabarnya ini memang perkebunan teh terbesar ketiga di dunia seluas hampir tiga ribu hektar: perkebunan teh Malabar.

***
“Bade kamana, Kang?” tanya seorang pemuda paruh baya dengan logat sunda khas daerah priangan di selasar masjid setelah shalat ashar.

“Bade ka Pangalengan, teras ka Bandung, teras ka Bogor.”
saya menjawab lengkap.

Pria yang kemudian dikenal dengan nama Kang Ujang ini memberitahukan bahwa tak ada angkutan umum menuju  pusat kota dari kampung tempat kami berada. Jika pun ada, itu harus dari kampung tetangga yang jauhnya 10 km, sekitar satu jam jalan kaki. Tapi jika hari sudah lewat siang hampir mustahil rasanya angkutan umum ditemukan. Karena sehari hanya satu dua mobil yang beroperasi, itu pun di pagi hari. Maka jika ingin ke pusat kota selepas siang pilihannya hanya dua: minta diantarkan dengan motor warga dengan membayar hampir sepuluh kali lipat tarif Gojeg di Jakarta, atau jika beruntung bisa menumpang mobil pengangkut teh atau sayuran yang biasa lewat sebelum senja. Tentu saya memilih yang kedua.

***

Dua hari setelah hari pernikahan, saya bersama istri memutuskan melakukan perjalanan ke tempat yang sudah sering salah dari satu kami kunjungi. Pilihan dijatuhkan pada Gunung Papandayan setelah istri meyakinkan bahwa ia telah  6 kali mendaki gunung setinggi 2.665 mdpl tersebut. Mau tak mau saya harus percaya, walau saya punya rekor lebih dari itu: 17 kali pergi ke Baduy Dalam. :p hha..

Perjalanan mendaki gunung yang masuk ke wilayah Garut ini dan bermalam dengan bertenda disana tak berbeda jauh dengan yang dijalani umumnya para pendaki. Yang berbeda hanya momennya saja barangkali.

Pulangnya kami memutuskan jalur berbeda dari jalur kedatangan setelah bertanya dan mengumpulkan informasi dari beberapa warga dan penjaga warung di Pondok Salada, salah satu tempat mendirikan camp sebelum padang edeilweis terluas di Indonesia: Tegal Alun. Dengan keyakinan yang sudah membulat, dengan logistik dan perbekalan yang dianggap aman, dan perlengkapan yang dirasa sudah cukup, kami berdua memutuskan mengambil jalur yang sama sekali tak pernah kami bayangkan akan seperti apa. Setelah menimbang-nimbang dan berdiskusi cukup panjang, akhirnya kami berjalan perlahan mantap di atas jalan setapak berbatu menembus hutan gunung Papandayan.

Kekhawatiran tak dapat melanjutkan perjalanan dan kembali ke belakang datang saat sandal istri putus dan kakinya terkilir karena tergelincir akibat jalan licin yang dilalui air. Namun keraguan perjalanan selama lebih dari sejam itu sirna setelah kami tiba di perkebunan teh milik warga yang memang menjadi patokan kami. Kekhawatiran tersesat di gunung dan dihadang babi hutan yang masih sering ditemukan di Papandayan hilang setelah menemukan beberapa warga sedang memanen kentang di perkebunan. Bahkan dalam sekelebat pikiran saya, macan kumbang yang konon kabarnya masih ada di Papandaya menjadi salah satu hal yang saya takutkan.


Setelah mendapat pencerahan dari petani yang sedang panen raya -begitu kayanya, dan setelah berjalan hampir 3 jam, akhinya kami tiba di sebuah kampung yang dapat dikatakan cukup terpencil. Sebuah kampung di kaki Gunung Papandayan namun masuk wilayah Kabupaten Bandung yang berada di tengah-tengah perkebunan teh milik perusahaan negara. Sebuah kampung yang sejauh mata memandang hanyalah kebun teh terhampar luas tiada habis-habisnya. Batas wilayahnya hanya kebun teh, kebun teh, kebun teh, dan kebun teh. Hanya tingginya gunung Papandayan yang menghalangi. Sebuah kampung yang namanya sama dengan nama gunung dimana ia berada di kakinya: Kampung Papandayan.

Kampung Papandayan telah meninggalkan kenangan bagi kami berdua. Keasrian kampung yang khas seperti yang digambarkan dalam buku-buku sekolah mungkin tak akan kami temui lagi. Keramahan anak kecilnya yang berebut tangan kami kemudian menciuminya saat keluar dari masjid dan menunggu tumpangan sulit untuk dilupakan dari ingatan. Kampung yang telah memberikan pengalaman dan saudara baru hingga kami memutuskan suatu saat akan kembali ke sana. Kebaikan pemilik pick up dan satu setengah ton wortel yang memberi kami tumpangan dan minuman kepada istri serta obrolan hangat selama perjalanan semoga mendapat balasan. Undangan dari Kang Oji, pemilik empat hektar perkebunan di kaki Gunung Papandayan, yang berniat akan mengajari kami bercocok tanam jika kami datang dan menginap di sana suatu saat akan kami penuhi. Entah kapan. Semoga kami diberi umur panjang dan kesempatan!

Selasa, 31 Mei 2016

Beruntung

Pernah dalam satu keinginan untuk memiliki pendamping hidup asli orang Banten. Allah beri lebih dari pada itu: keturunan pendiri Banten. Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa ia yang Allah kini takdirkan menjadi pendamping hidupku, memiliki garis keturunan yang bersandar pada Sultan Maulana Hasanuddin pendiri kesultanan Banten itu. Aku benar-benar tak pernah tahu sebelumnya.

Pernah dalam diri ini terbesit mempunyai istri senang beperjalanan. Allah hadiahkan lebih dari itu: ‘anak gunung’. Itulah kemudian mengapa kami memilih beperjalanan ke Gunung Papandayan sehari setelah melangsungkan pernikahan. Selain karena istri telah hafal jalur Papandayan karena telah 6 kali pergi kesana, juga karena bagi kami bepergian setelah menikah tak selalu harus di hotel mewah dan tempat nyaman saja. Sesekali mendaki gunung dan mendirikan tenda di sana adalah salah satu pilihan yang patut dicoba.
 
Pernah diri ini juga punya mimpi memiliki pasangan yang cinta anak dan keluarga. Allah kirimkan lebih dari itu: sarjana Ilmu Keluarga. Salah seorang temanku bahkan mengatakan para lulusan jurusan yang hanya ada satu di Indonesia ini layak disebut ‘ibu-ibu bersertifikat’. Kabarnya itu disematkan karena memang selama 4 tahun perkuliahan yang dipelajari hanya tentang keluarga, teori-teorinya dan segala seluk beluk yang menghisainya. Hanya tinggal praktiknya saja. Dan kini waktunya.
 
Pernah satu masa terbesit untuk tak tinggal di kota, cukup di desa. Allah kirimkan perempuan kota yang rela meninggalkan karir pribadinya dan ikut bersama ke desa. Menjauhi dan meninggalkan kota yang justru dianggap ‘magnet’ bagi sebagian orang cukup menyulitkan. Apalagi yang telah bertahun-tahun hidup dan tinggal disana. Pada kampung bernama Pasirmanggu, desa Dahu, 25 km dari ibukota kabupaten Serang akhirnya kami jatuhkan pilihan sebagai tempat tinggal dan hidup bersama. Tinggal dan hidup di desa adalah sebuah cita-cita.

Aku selalu meminta untuk dinikahkan oleh Allah, pada siapa saja. Terserah pada-Nya. Allah kemudian memberi lebih dari segalanya. Maha Baik Allah atas segala nikmat yang telah diberikan pada hamba-Nya yang hina ini. Atas segala apa yang telah Dia berikan pada aku yang bukan siapa-siapa ini hingga detik ini.
 
Maka jika ada yang berkata bahwa Ifah beruntung mendapatkanku, sesungguhnya ingin kukatakan bahwa akulah yang amat beruntung mendapatkan Ifah. :)

Jumat, 20 Mei 2016

2016: Tahun Menikah

Tiap masa yang dijalani pasti memiliki kenangan berarti. Tiap tahun yang dilalui pasti mempunyai kesan tersendiri. Tahun-tahun yang telah terlewati bisa membekas bagi sebagian orang, bisa juga tidak bagi sebagian yang lain. Pun dengan tahun ini. Apa yang telah dan akan dijalani tahun ini bisa menjadi kenangan yang begitu mendalam dan berkesan, atau bisa juga biasa saja hanya mengulang rutinitas harian dan bulanan, tanpa terselip satu hal besar yang mengubah hidup di tahun-tahun mendatang.

Atas semua hal itu, seringkali kita memiliki sebutan bagi tiap tahun yang (sedang dan akan) dijalani. Dan bagi saya pribadi, tahun 2016 ini adalah tahunnya menikah. Bagaimana tidak, hingga jelang medio 2016 saja, lebih dari 20 orang yang saya kenal dekat telah menggenapkan separuh agamanya. Mulai dari lingkungan pesantren tempat saya tinggal, teman-teman Madanian, teman-teman semasa perkuliahan, hingga teman-teman beperjalanan.
Di pesantren tempat saya tinggal ada delapan orang yang menikah hingga Mei ini, termasuk saya di dalamnya (*lalu nyengir). Di antara alumni CMBBS ada dua pasang Madanian yang menjalin ikatan pernikahan, ditambah lagi di teman-teman angkatan ada lima orang. Hanya di antara teman semasa perkuliahan saja yang menikah cuma seorang. Di antara teman-teman beperjalanan pun ada dua pasang yang sampai paruh tahun ini melangsungkan pernikahan. Lihat, 2016 benar-benar tahun menikah ‘kan?
Pernikahan selalu saja menghadirkan kebahagiaan. Lebih dari itu mengundang keberkahan. Setidaknya itu yang disampaikan Kiyai pondok yang selalu merasa senang jika ada ustadz-ustadzah di pondok yang menikah. Terlebih tahun ini yang terbanyak. Kebahagiaan itu beliau cerminkan dengan selalu hadir di setiap pernikahan yang ada. Menghadiri akadnya, bahkan menjadi penasihat pernikahannya. Dengan yang menikah semakin banyak, rasa bahagia menjadi makin berlipat, keberkahan pun akan makin dekat. Seperti halnya pak Kiyai, saya (dan kita) pun amat begitu senang dan bahagia saat tahu ada teman-teman yang mengikat janji dalam ikatan suci. Hanya barangkali tak setiap pernikahan dapat saya hadiri.
2016 masih menyisakan lebih separuhnya. Entah siapa lagi setelah ini. Mari menanti!

Minggu, 08 Mei 2016

Hari Raya

Setiap dari kita rasa-rasanya memiliki hari yang patut dirayakan. Bisa hari yang dirayakan bersama seluruh dunia: Idul Fitri, Idul Adha. Atau pun hari yang dirayakan hanya setiap masing-masing dari kita; atas sebuah proses dalam setiap tahapan kehidupan yang sedang, telah, dan memang harus kita lewati; atas sebuah perpindahan fase yang musti kita jalani: kelahiran, pernikahan, bahkan pun kematian.

Merayakan cinta adalah ungkapan terima kasih atas anugerah yang telah diberikanNya. Dari setiap anugerah yang telah diberikan, barangkali rasa cinta adalah rasa tertinggi yang telah Dia beri. Perayaannya tentu pada cinta suci yang diakui oleh agama dan negara.
Merayakan cinta adalah merayakan kemenangan atas usaha syetan dalam upaya pengejawantahan cinta yang tak seharusnya. Mereka yang telah terus berusaha, hingga usaha terakhirnya, menggoda kita agar tidak menjalankan perintahNya. Menggoda kita dalam mempermainkan rasa dan cinta yang kita punya. Hingga akhirnya kita menang atas mereka.
Merayakan cinta adalah bentuk kesyukuran atas sebuah proses yang oleh Allah haruskan. Sebuah proses dalam upaya meraih keridhoaanNya, menggapai surgaNya.
Maka sesungguhnya inti dari semua perayaan adalah kesyukuran. Ya, kesyukuran. Selamat hari raya. Selamat merayakan cinta.
Perjalanan Pandeglang-Bogor, jelang 08 Mei 2016

Kamis, 04 Februari 2016

Sepotong Kenangan

Pa Iwan K. Hamdan saat penanaman pohon di Assa'adah Global Islamic School (AGIS) [dok. Penulis]
Rasanya baru kemarin saya diminta untuk mengambil foto di atas oleh beliau. “Untuk kenang-kenangan pribadi,” aku beliau sambil menyodorkan smartphone miliknya pada saya. Tak disangka itu adalah interaksi dan percakapan terakhir kami berdua.
Rasanya baru kemarin beliau menanyakan kabar saya dan masih mengingat nama saya walau hampir lebih dari 5 tahun kami tak bertemu dan berkomunikasi. Sambil bertanya, “Bagaimana kabar teman-teman? Dimana sekarang Iyus? Dimana sekarang Enggar? Dimana sekarang Nanda?” Disambung dengan ungkapan kesyukuran atas jawaban yang saya berikan. Jika waktu kami banyak, barangkali bisa saja semua teman-teman yang dikenalnya akan disebut dan ditanyakan.

Rasanya baru kemarin berkunjung ke rumah beliau bersama asatidz dari pondok. Rumah yang sama yang saya kunjungi hampir 5 tahun lalu. Rumah yang dari tampilannya kita tak akan percaya bahwa pemiliknya adalah seorang staff ahli bupati, seorang staff ahli gubernur, seorang doktor dan dosen S3, seorang ketua Badan Akreditasi Provinsi, dan jabatan publik lain yang tak pernah saya tahu. Dari beliau saya belajar kesederhanaan.

Rasanya baru kemarin saya diceritakan tentang bagaimana sekolah di bawah kaki gunung karang tempat saya mendapatkan ilmu dibangun dengan kepahitan dan kegetiran. Kemudian dijaga dan dipelihara oleh mimpi besar, usaha keras dan doa tiada henti. Hingga menjadi sebab sekolah itu tetap berdiri kokoh hingga kini. Dari beliau saya belajar bermimpi tinggi.

Rasanya baru kemarin beliau bilang, “Ikut terus sama ustadz Dadang, Ci.. Ambil ilmunya. Ustadz Dadang orang hebat”. Dan ternyata itu adalah nasihat terakhir sebelum kami tak akan pernah bertemu di dunia ini lagi.

Rasanya baru kemarin semua ini terjadi. Hingga kemudian saya tersadar bahwa dunia ini memang sebentar. Selamat jalan, Pa Iwan.. Sampai jumpa!

Allahumaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu.

Sungguh, saya pun bersaksi bahwa beliau adalah orang baik.

Jumat, 01 Januari 2016

Setia Sejak dalam Rasa

Jika adil harus sejak dalam pikiran, maka setia pun barangkali harus sejak dalam perasaan. Adil adalah perkara akal, sedangkan setia adalah perkara hati. Rasa-rasanya kita telah sepakat bahwa perkara hati (dan tentunya perkara rasa) seringkali membuat kita tersiksa.

Setia semestinya dimulai dari saat mengagumi, bukan ketika mulai mencintai atau mungkin memilliki. Cukuplah hanya satu orang yang bertahta dalam hati. Jika ada tamu datang mengetuk pintu, bukakan untuknya sejenak tanpa perlu mempersilahkannya menetap.

Kecenderungan lelaki adalah mendua, mentiga atau bahkan mungkin mengempat. Maka mejaga kesetiaan termasuk perkara tidak mudah sepertinya. Apalagi setia sejak dalam rasa, ketidakmudahannya akan menjadi berkali lipat bagi kita: kaum adam.

Ujian kesetiaan bagi tiap orang pasti berbeda. Tapi semuanya akan bermuara pada pembuktian tinggi-rendahnya kemampuan kita dalam mengolah rasa dan berinteraksi dengan hati.

Setelah memiliki saja pasti ada cobaan, apalagi belum memiliki, terlebih hanya sebatas mengagumi. Ah, rasa-rasanya pelik sekali.

Hati, jelang Januari dua ribu enam belas masehi.

Jumat, 04 Desember 2015

Cerpen - Sarjana Desa

Melihat seorang pemegang gelar sarjana sedang duduk-duduk di gubuk pematang sawah dengan pakaian lusuh dan kotor penuh lumpur, bukan kemeja berdasi dan duduk di ruang ber-AC, bisa memunculkan berbagai persepsi  banyak orang.  Bisa jadi ia memang sedang dalam masa menunggu panggilan yang tak kunjung datang dari perusahaan yang telah dilamar. Atau bisa jadi ia dan orang tuanya tidak punya cukup uang untuk membayar ‘uang muka’ sebagai prasyarat dapat bekerja menjadi abdi negara.

Pun begitu dengan yang ada dibenakku saat tahu kabar terakhir Adi setelah studi sarjananya selesai. Telah setahun lebih ia di desa. Katanya tak bekerja. Tak kemana-mana. Seorang sarjana berasal dari desa tetapi memilih desa sebagai tempat tinggal adalah hal yang tak lumrah bagi kami. Di daerah kami, siapa-siapa yang telah sekolah tinggi, terlebih sarjana, sudah sepatutnya merantau ke kota untuk memperbaiki nasib. Pulang-pulang membawa harta melimpah atau minimal membawa kendaraan pribadi. Tidak demikian dengan Adi.

Aku kemudian berpikir mungkin pematang sawah telah menjadi tempat pelarian dari kerasnya hidup yang ia jalani semenjak kematian ayahnya saat ia kuliah dulu. Barangkali pematang sawah adalah tempat terbaik untuk mengakui kekalahan dari kerasnya hidup yang ia dan keluarga lalui. Ia telah kalah. Dan ia menyerah.

Pikiranku ternyata aku salah. Ini adalah keputusan yang telah dipikirkannya matang-matang. Dengan risiko akan dikatakan bodoh bahkan dikutuk orang-orang. Tapi Adi tak pernah bergeming akan hal itu.

“Aku muak dengan mereka yang menuntutku jadi pegawai kantoran, menyuruhku pergi dan menjadi pekerja di kota.” Begitu katanya padaku  setelah ku tanya mengapa ia tak pergi ke kota melamar kerja.

“Jika semua anak muda yang terdidik pergi ke kota, lalu siapa yang tinggal dan membangun desa kita?” Pernyataanku bahwa semenjak muda kita harus mencari pengalaman ke kota malah dibalas dengan pertanyaan.

“Lalu hanya mereka yang telah tua renta yang tinggal di desa? Atau anak muda yang tak terdidik dan putus sekolah, yang sebagian besarnya pun telah menjadi buruh di kota sana yang membangun desa?” Kalimatnya menyusul beruntun tanpa jeda, tanpa ampun. Kali ini aku tak diberinya kesempatan menanggapi.

“Jadi desa kau jadikan sisa? Lalu jika begitu, bagaimana desa kita bisa maju?” Percikan air liurnya sampai-sampai mendarat di pipiku. Kedua alisnya bertemu. Air muka menjadi lebih serius. Ia seperti hendak mengamuk saja. Entah setan desa jenis apa yang merasukinya.

“Lalu kapan desa menjadi setara dan sejahtera selayaknya kota?” Wajahnya memandang jauh ke hamparan sawah hijau yang berujung rimbunan pohon dan gunung biru menjulang tinggi. Mungkin itu salah satu cara meredam kekesalannya yang hendak muncul.

Mungkinkah ia ingin menjadikan desa seperti kota? Dalam hati aku menggugat. Ingin mencoba masuk dalam jeda yang tak kunjung ia beri.

“Aku bukan ingin mengkotakan desa, aku hanya ingin ia setara. Cukup dengan setiap warganya punya penghasilan,  fasilitas publik tersedia, pelayanan pendidikan dan kesehatan, ada. Itu saja.“ Sepertinya ia mendengar suara hatiku.

Istilah meng’kota’ kan desa adalah istilah yang baru kudengar. Istilah itu kemudian mengantarkan kami pada diskusi-diskusi dan sesekali perdebatan tentang idealisme-idealisme masa kuliah dulu. Idealisme yang menurutku sudang usang untuk dipertahankan. Kita ini bukan lagi mahasiswa. Tugas kita sekarang mencari kerja. Mencari uang. Bukankah kita kuliah untuk mendapatkan ijazah sebagai syarat untuk bekerja? Begitukan? Lalu kenapa setelah mendapatkannya justru tak digunkan? Aku makin heran pada Adi. Sang juara kelas tak terkalahkan yang pernah aku kenal menjadi seperti ini adalah sebuah keheranan bagiku.

“Hidup bagiku bukan tentang perkara miskin atau kaya bergelimang harta, bergaji tinggi dengan digit bertambah tanpa henti. Aku tak peduli.” Tegasnya.

“Tapi kau butuh semua itu untuk mengangkat derajat orang tuamu yang telah lama didera kemiskinan, Adi. Di desa, mana bisa kau mendapatkannya?” Aku coba menggoyahkan keteguhannya. Mencoba menyuguhkan realitas yang ia hadapi. Yang mungkin tak ia sadari.

“Dulu ayahku hanyalah petani miskin. Miskin harta dan miskin ilmu. Berbagi harta ia tak punya, berbagi ilmu apalagi. Lalu kenapa ketika anaknya punya ilmu, justru malah meninggalkannya? Ayahku berharap aku tak pergi ke kota. Ia ingin aku ada untuk warga di desa.” Aku terdiam mendengar penjelasan Adi.

“Nak, makan dulu.” Obrolan kami terpotong oleh suara ibu Adi yang datang dari belakang gubuk dengan segantang makanan di tangan kanannya dan teko bergantungkan gelas di tangan kirinya.

“Ibu repot-repot amat bawa makanan ke sawah.” Tanyanya heran.

“Kan ada tamu dari kota, ga tiap hari ini,” Aku merasa yang dimaksud. “Ayo di makan.” Sambung ibu Adi sambil menyuguhkan nasi, ikan bakar, tempe goreng, sambal, dan beberapa helai daun singkong.

Setelah pertemuan itu, aku tahu Adi ternyata tetap menyalurkan hobi menulisnya dengan menjadi kontributor sebuah surat kabar di Jakarta. Kontributor tak tetap salah satu rubrik di  media nasional itu. Ia juga sedang merintis buletin di desanya. Katanya untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya dalam menggali potensi desa. Ia juga mengajar mengaji anak-anak desa selepas maghrib di teras rumahnya.

Selain mencari inspirasi, sawah baginya adalah tempat terbaik untuk mengenang masa kecil yang telah hilang bersama ayahnya. Masih teringat dalam ingatanku, tepat dua petak sawah dari gubuk tempat kami makan, bagaimana di sana, ayahnya menaikkan aku dan Adi ke atas kerbau yang digunakan untuk membajak sawah sewaktu kami masih duduk di kelas 2 SD dulu. Sebelum aku pindah ke kota. Kami dibawanya mengelilingi sawah yang hendak dibajak. Ingatan itu hadir kembali bersamaan dengan kedatanganku ke tempat ini.

Kami makan dengan lahap di bawah rindang pohon mangga yang menaungi gubuk. Ayah Adi selalu bilang, serendah-rendahnya petani desa di mata orang kota, oran kota lupa bahwa beras yang mereka makan, sayuran yang dihidangkan, lauk pauk yang disuguhkan adalah dari desa juga, tempat asal para petani. Katanya jangan pernah malu tinggal, hidup, dan bekerja di desa. Menjadi orang desa haruslah menjadi sebuah kebanggaan.

Senin, 28 September 2015

Mengambil Ilmu dari Ustadz

Orang bijak berucap bahwa setiap orang harus selalu punya guru. Karena tak setiap ilmu dapat diajarkan oleh buku. Pun begitu dengan yang ada dalam kepalaku. Maka pilihan untuk ‘ikut’ guru –yang biasa dipanggil ustadz, setelah lulus sekolah menengah dulu adalah pilihan yang mendatangkan kebersyukuran, hingga sekarang.

Datang dengan malu-malu untuk menawarkan diri ikut salah seorang guru adalah perkara yang tak mudah. Saat teman-teman sebaya berlomba melanjutkan pendidikan, aku memilih jalan yang berbeda: ikut dengan seorang guru. Bukan untuk waktu sehari dua hari, sebulan dua bulan, tapi untuk waktu bertahun-tahun. Bahkan hingga sekarang setelah hampir 7 tahun berlalu.

Ilmu, sekali lagi, tak selalu tentang apa yang tertulis dalam buku. Ia ada dalam setiap hal yang kita temui. Ia tersemat dalam setiap kegiatan yang kita lalui. Langsung atau tidak langsung. Apa-apa yang terlihat dalam keseharian pun bisa jadi ilmu. Dan dari para guru yang pernah aku ikuti dan temui, aku belajar begitu banyak ilmu dan teladan.

Di sana, kita akan belajar tentang dedikasi saat para orang-orang terbaik memutuskan untuk menempuh jalan yang katanya tak selalu melimpah dalam hal materi. Menyumbangkan waktu, tenaga, harta, bahkan mungkin jiwa untuk dunia pendidikan. Bahkan ada yang kemudian mengatasnamakan pengabdian.

Kita akan belajar tentang loyalitas saat orang bisa bertahun-tahun, bahkan seumur hidup tinggal dan bekerja di satu tempat. Bukan tak ada pilihan, tapi memang sebuah keputusan. Saat tempat kerja bukan hanya tempat mencari nafkah, kita bahkan akan menemukan orang yang mewakafkan diri di dalamnya.

Kita juga akan diajari tentang keberkahan harta saat apa yang kita dapatkan secara materi selalu minus jika di-matematika-kan, tapi selalu membuat merasa berkecukupan. Selalu saja ada jalan untuk dapat melanjutkan hidup. Entah jalan itu datang dari mana persisnya kita tak pernah tahu. Yang jelas ada kekuatan di luar kemampuan manusia yang mengatur semua itu.

Dan kita akan belajar tentang keikhlasan yang mungkin saat ini jarang ditemukan. Ilmu ikhlas memang tak mudah dinilai dan tak mudah dijalani. Bahkan katanya butuh sepanjang hayat mempelajari. Ia letaknya jauh di dalam hati. Walau tak pernah ada yang tahu isi hati, setidaknya kita bisa melihat dari apa yang dijalani sehari-hari. Dan aku menemukan percikan-percikan keikhlasan itu di tempat-tempat yang selama ini aku singgahi.

Serang, penghujung Agustus dua ribu lima belas.
Seorang murid.

Kamis, 10 September 2015

Merayakan Kematian

Barangkali benar kata Novia Kusumawardhani bahwa kematian (kadang) memang perlu dirayakan. Pergi dari dunia penuh sandiwara layak diiringi pesta. Menjadi makhluk bebas tanpa beban dan tuntutan orang-orang bisa menjadi sebuah kesenangan. Lebih-lebih jika hidup penuh dengan kepedihan dan kemalangan.

Dulu, kelahiran kita disambut dengan suka cita karena katanya kehidupan adalah anugerah. Lalu kenapa kematian harus disambut dengan duka jika itu pun adalah jalan menuju kehidupan selanjutnya? Maka tertawa tak harus ketika kelahiran tiba saja, tapi juga ketika kematian sebagai jalan kehidupan selanjutnya terbuka.

Kematian hanyalah sebuah perpindahan dimensi, kata Habibie. Ia adalah proses yang musti kita jalani. Maka tak perlu ada yang disesali atau tangisi.

Erangan roh yang meninggalkan tubuh kita sebut kesakitan. Padahal bisa saja itu adalah tertawa dengan cara berbeda. Bukankah ia, sang roh, hendak kembali menemui pemiliknya?

Katanya cara terbaik untuk mengingat mati adalah dengan mengunjungi pusara. Maka cara terbaik untuk tahu mati itu patut dirayakan atau tidak, barangkali kita perlu merasakannya.

Perjalanan Serang-Pandeglang, 10 September 2015