Sabtu, 24 Mei 2014, jelang siang, saya seolah dibawa oleh benda bernama waktu pada satu masa, beberapa lebih tepatnya. Dibawanya saya melalui lorong miliknya. Tak sampai selesai satu masa, sudah ditariknya saya ke masa berikutnya. Begitu seterusnya hingga kembali pada masa dimana saya berdiri saat ini. Seolah saya diajak jalan-jalan oleh waktu pada timeline hidup saya sendiri.
Timeline itu bermula pada tahun saat saya, seorang anak pelosok yang desanya berbatasan dengan desa milik salah satu suku terpelosok di Indonesia, berpindah Sekolah Dasar. Tak pernah saya menyangka akan bisa bersekolah ke kota. Ke sebenar-benarnya kota sih tidak, ke tempat yang lebih kota mungkin iya. Saat itu saya hanya ikut apa yang dikatakan orang tua. Sekolah ya sekolah. Jika tidak, ya tak apa.
Lalu timeline itu tiba-tiba beranjak saja pada masa tiga tahun di Sekolah Menengah Pertama. Tiga tahun di sana saya lewati dengan cukup meninggalkan banyak kesan. Menjadi siswa yang tidak bandel-bandel amat, bahkan sebaliknya. Begitu katanya. Timeline masa SMP itu sepertinya bergambar dan bervideo. Diputarkannya video itu di depan saya. Dan tentunya hanya saya yang bisa menyaksikan. Salah satu cuplikan video itu ketika saya berderai air mata memberikan sambutan pada acara perpisahan.
Pada masa Sekolah Menengah Atas, timeline itu lebih terperinci. Entah mengapa. Mungkin karena kenangan di sana yang teramat dalam sekali. Satu persatu potongan gambar dan video selama disana kembali diputar dan diperlihatkan. Banyak, banyak sekali. Dan sekali lagi, hanya saya yang bisa melihat dan menyaksikan. Salah satunya lagi-lagi ketika perpisahan, saat saya dan seorang rekan berpelukan dengan tergugu penuh haru kala itu. Sedemikian pedihnyakah perpisahan?
Dari cuplikan-cuplikan video masa SMA itu saya merasa, mungkin saya tak kan pernah merasakan bagaimana rasanya memakai seragam putih abu-abu jika tidak berada di sana. Menjadi bagian dari sekolah di bawah kaki Gunung Karang kemudian menjadi salah satu kesyukuran terbesar saya.
Di masa SMA itu lalu saya jatuh cinta pada sebuah nama: Cahaya Madani. Saya begitu cinta pada segala hal yang ada di Cahaya Madani: pada udara paginya, suasana malamnya, langit dan bintang-bintangnya, para penghuninya, pada podiumnya, jalan aspal dan setapaknya, masjidnya, asramanya, perpustakaannya, tiap bangunannya, bahkan pada rumput dan ilalangnya. Saya sempat heran mengapa bisa terjadi. Tapi saya sadar, kadang cinta itu memang tak butuh definisi.
Masa tiga tahun disana kemudian menjadi masa yang paling berkesan dan paling indah dalam hidup. Bahkan saya masih sering terbayang masa-masa itu. Mungkin ini definisi ‘gagal move on’ bagi saya. Hha..
Cukup sulit bagi saya untuk melepaskan bayang-bayang pada kenangan selama di sana. Hingga akhirnya saya tahu bahwa untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu hanya ada dua cara: meninggalkannya jauh-jauh dan tak pernah mengingatnya sama sekali hingga hilang bersama waktu, atau kembali padanya dengan menjadi bukan diri saya pada masa itu.
Manakah yang akan kemudian akhirnya saya pilih? Rasa-rasanya saya harus menanyakannya dulu pada Sang Pemilik waktu.