Saya pernah berada pada masa amat begitu mencintai ilmu. Masih jelas dalam bayangan saya, belajar hingga jauh larut malam; di dalam kamar, di atas meja belajar, di depan kelas, di ruang kelas, di bawah tangga kelas hingga ketiduran, di perpustakaan, di bawah temaram lampu PJU, bahkan di trotoar semalaman.
Bukan hanya karena besoknya ada ujian, atau karena ingin menjadi juara kelas. Tapi karena saya memang begitu menyukai pelajaran yang saya pelajari.
Dan saat ini, saya sedang mencari-cari rasa yang telah lama hilang itu.
Selasa, 16 April 2013
Senin, 04 Maret 2013
Membelah Bukit
Ini tentang sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam hidupku, yang begitu menginspirasiku, semenjak kecilku hingga saat ini.
Ini tentang kakekku, Abdul Mutholib-ku hingga kini. Mahbub bin Abdul Fakar bin Afiq.
Kakekku
adalah pria yang tangguh dan pekerja keras. Masih tersimpan dengan baik dalam
memoriku, saat ia ingin mengelola sebuah tempat yang dianggap tidak bersahabat;
sebuah rawa, dipinggir sawah, cukup jauh dari perkampungan, dibiarkan saja tak
terurus, penuh kubangan tempat mandi kerbau, dikelilingi semak belukar pula. Ceritanya
dia ingin menjadikan tempat itu sebagai
tempat usaha. Orang-orang kampung menyarankan lebih baik cari tempat lain. Tak
usah saja. Banyak yang meragukannya.
Memang
karena sudah wataknya yang keras. Ia tetap ingin mewujudkan keinginannya itu.
Maka berbulan-bulan ia, kedua anak laki-lakinya (yang tak lain pamanku),
kakakku dan aku sendiri mengolah rawa yang sudah tak ada yang mau mengurusnya
semenjak dulu itu. Berhari-hari kami menyingkirkan tumbuhan-tumbuhan rawa yang
ada disana. Berbulan-bulan kami mencangkul, memadatkan tanahnya, mengelola
airnya, membuat irigasi, mendirikan gubuk, memasang listrik, dan menuliskan
plang ‘jual beli ikan dan pemancingan’. Ya, kami berhasil mengubah rawa yang
terkenal tak bersahabat itu menjadi sebuah pemancingan yang ramai dan tempat
berkumpul beberapa warga kampung setiap sorenya. Menjadi tempat nongkrong
bapak-bapak, ibu-ibu yang membawa anak-anaknya bermain.
Dan yang
terakhir, baru-baru ini kakekku yang keras itu mencoba membelah bukit.
Sebenar-benarnya bukit, bukan kiasan. Ya, dia ingin membelah bukit dalam arti
sebenarnya.
Biar
sedikit kujelaskan dengan gambar apa yang kumaksudkan.
Pada gambar itu ada sungai yang berbelok melingkari
sebuah daratan. Ukuran lebar sungai sekitar 5-6 meter, ini adalah salah satu
aliran sungai Ciujung yang melewati kampung halamanku. Hulu sungainya sendiri
ada di Baduy dalam.
Jadi
ceritanya, kakekku ingin mencoba memindahkan aliran sungai Ciujung itu dengan
meluruskannya membelah daratan. Membuat aliran baru untuk sungai. Dalam gambar dengan
menarik garis lurus dari A ke B. Dan daratan itu bentuknya adalah sebuah bukit.
Tinggi bukitnya sekitar 10 sampai belasan meter. Maka artinya ia ingin membelah
bukit.
Aliran
sungai yang berhasil ia pindahkan, ingin ia jadikan tempat pembibitan ikan.
Airnya yang mengalir besar serta jernih sangat cocok untuk itu. Mimpinya ia
ingin seperti apa yang ada di waduk Cirata, di Jatiluhur sana.
Banyak yang
meragukannya, apalagi tempat dibalik bukit itu memiliki cerita mistis yang
cukup terkenal. Banyak pula yang melarangnya untuk tidak meneruskannya. Tapi
kakekku tak bergeming, ia tetap meneruskan.
Ya aku tahu
dia tak lagi muda, tapi yang lebih aku tahu adalah semangatnya masih tetap muda
dan akan terus muda. Katanya, ini pun mimpinya sejak ia muda.
Dan bulan
kemarin, aku sempat ikut menaklukan bukit itu, bersamanya.
Ini
penampakkan bukitnya.
Yang
berdiri paling depan itu kakekku (jika mengacu pada gambar sebelummnya, kakekku
berdiri di B).
Sayangnya, kini dia sakit-sakitan. Akhirnya mamahku memutuskan untuk mengajaknya ke Pandeglang. Kini dia bersamaku di rumah. Semoga dia cepat diberi kesembuhan.
اللّمّ ربّ النّاس أذهب بأس إشفيه أنت الشّافىء لاشفاءًا إلّا
شفائك شفاءًالايغادرسقماً ولا ألماً
Minggu, 25 November 2012
Dara(ku)
Aku :
"Tadz, ana boleh melihara burung ya?"
Ustadz : “Burung apa?”
Aku :
“Burung merpati. Boleh ya, Tadz?”
Ustadz : (mimik penuh
tanda tanya. tak memberi jawaban)
Aku :
"Ya, Tadz..? Boleh ya?!" (mencoba meyakinkan)
Ustadz : (diam
sejenak) "Tapi jangan sampai kotor."
Aku : "Na’am,
Tadz. Syukron, Tadz.." (pergi dengan begitu gembiranya).
Percakapan kecil itu mengawali niatku untuk memelihara burung
merpati, burung dara lebih tepatnya, saat aku SMA dulu, hampir 5 tahun lalu. Niat
yang awalnya dihinggapi kepesimisan, karena memang saat musim wabah flu burung
baru saja usai. Tapi keinginan untuk memelihara burung dara itu begitu kuat menghinggapiku.
Selain sebagai salah satu caraku untuk mengalihkan diri dari kejenuhan kegiatan
sekolah, aku juga rindu pada burung dara yang pernah aku pelihara di rumah saat
Sekolah Dasar dulu. Dengan memelihara burung dara juga, saat itu aku punya
mimpi untuk menjadikan sekolahku seperti kota-kota di eropa yang selalu di
hiasi burung jinak itu.
Akhirnya atas bantuan salah seorang adik kelas, aku mendapatkan 2
burung dara. Black dan Brown mereka kuberi nama, tak lain karena warna bulu
mereka hitam dan coklat pekat.
Dua minggu kulewatkan dengan membuat kandang, membeli pakan,
memberi makan tiap pagi sebelum sarapan, mengganti minum tiap 2 hari sekali, menengok
mereka diatas genset, hingga ku lepaskan mereka setelah dirasa cukup.
Perlu diketahui, adalah sebuah kebiasaan dari seekor burung dara
jika kita mengurungnya sekitar 2 minggu atau lebih di dalam kandang kemudian
melepaskannya, maka dia tak akan pergi begitu saja tetapi akan kembali ke
kandang tersebut, menganggapnya sebagai rumah tempat kembali sejauh manapun dia
pergi. Hingga pernah ada kejadian 2 tahun kemudian saat aku telah lulus. Saat ustadz
membawa mereka ke Jakarta, mereka dapat kembali ke kandangnya di sekolahku, di
Pandeglang, menempuh puluhan, bahkan ratusan kilometer untuk sampai kembali
kesana.
Beberapa minggu kemudian Black dan Brown kedatangan sepasang
merpati putih sebagai teman barunya. Mereka berteman, akrab, walau sebelumnya
sering berkelahi dan saling mematuki. Terlebih Black dan Brown yang mungkin merasa
ada penghuni asing di kandangnya, hingga akhirnya mereka 'berkolaborasi'
menghasilkan si Belang, percampuran dari warna putih dan hitam di bulu-bulunya.
Mereka tumbuh, berkembang biak dengan baik hingga jumlah mereka semua mencapai
12.
Aku bersama mereka tak sampai satu
semester, tapi jalinan persahabatan antara aku dan mereka begitu dekat, sampai
mereka hafal suara panggilan dan tepukan tanganku. Aku merasa, ada sebuah
ikatan yang tak dapat dijelaskan antara aku dan mereka. Bahkan setelah lulus
dari SMA, saat tiba di gerbang sekolah, aku melihat mereka terbang dari arah
asrama putra menuju lapangan parkir depan kantor untuk menemuiku. Bahkan
terkadang mereka datang lebih dulu seolah sedang menungguku.
"Dari tadi nungguin kamu tuh,
Ci.." salah seorang
Petugas Keamanan sekolah padaku.
Dan tadi pagi, saat aku bermain ke
SMA-ku, entah tiba-tiba aku begitu merindukan mereka.
Rindu akan suara mereka yang sesungguhnya
sulit kutiru.
Rindu akan patukan paruh mereka di
telapak tanganku.
Rindu akan cengkreman cakar mereka
diatas lenganku.
Rindu melihat mereka berebut nasi
atau jagung dariku.
Rindu menyentuh dan mengusap bulu
halus mereka.
Rindu menyapa dan disapa oleh mereka
setiap pagi.
Rindu untuk curhat pada mereka
tentang apa yang terjadi padaku.
Rindu untuk ‘mengobrol’ dengan
mereka tentang kegiatan-kegiatanku.
Rindu untuk ‘berbincang’ dengan
mereka tentang kehidupan.
Rindu untuk ‘menertawakan’ sandiwara hidup.
Dan pernah hidup bersama mereka,
mengingat-ingatnya dan kemudian merindukannya kemudian adalah sebuah anugerah
untukku.
Minggu, 16 September 2012
Dari Ojeg Sawarna, hingga KRL Ibukota
Ini bukan tentang Sawarna. Ini tentang perjalanan
kesana. Perjalanan menuju destinasi wisata yang sudah 6 tahun dikenal sampai
mancanegara katanya. Perjalanan yang entah tertunda sudah berapa lama. Perjalanan
yang sebenarnya karena motif penasaran belaka (hhe..). Perjalanan yang saya
tempuh sendirian saja, dengan angkutan umum tentunya.
Damri menjadi moda angkutan yang saya pilih untuk
menuju ke Bayah, untuk selanjutnya menuju ke Sawarna. Cukup mudah.
Tentang Damri ini, ingin saya ceritakan bagaimana
keberadaannya begitu dinantikan dan menguntungkan bagi masyarakat yang punya
tujuan ke daerah Banten Selatan; Saketi, Picung, Malingping, Bayah, hingga
Cikotok.
Bis ini hanya ada 2 unit. Dan dalam sehari hanya beroperasi
dua kali. Mobil pertama rutenya Serang-Cikotok-Serang. Jam 6 pagi berangkat
dari Serang, dan jam 6 sore nyampe Serang kembali. Begitu juga mobil yang kedua,
berangkatnya sama, hanya rutenya terbalik; Cikotok-Serang-Cikotok. Padahal
masyarakat sangat terbantu dengan keberdaanya. Selain karena cepat tanpa ngetem
dijalan, juga karena tarifnya terbilang murah jika dibandingkan tarif ELF yang
biasa menuju Cikotok. Ini karena bus Damri berpatokan pada tarif yang telah
disesuaikan dengan peraturan pemerintah (Supir dan kondekturnya aja berseragam kayak
pejabat Dinas Perhubungan). Maka tak heran jika ada seorang ibu yang sengaja
menanti bus tiga perempat ini hanya karena merasa murah. Maka di Bus Damri tak
ada yang namanya permainan tarif seperti yang biasa terjadi pada mobil ELF dan
mobil Bus jurusan Jakarta-Labuan itu.
Tiba di Bayah saya melanjutkan ke Sawarna. Disini
agak bingung.
Ketika di Bus, saya sempat tanya-tanya tentang
angkutan umum dari Bayah ke Sawarna. Saya tanya ke semua orang yang saya temui.
Kata penumpang Damri disamping saya; tak ada
angkutan umum menuju Sawarna.
Penumpang belakang saya; jawabannya pun sama.
Kondekturnya; juga tak berbeda.
Saya penasaran, maka setelah sampai di Bayah, saya
coba keliling ke Pasar dulu dan bertanya ke orang-orang.
Kepada yang saya temuin di terminal Bayah; naik
ojeg saja katanya.
Supir angkot di Bayah, entah jurusan mana; begitu
juga.
Supir ELF Bayah: tak berbeda jawabannya.
Maka dari 7 orang yang saya tanya, hanya 1 orang
yang jawabannya berbeda: ada. (walaupun harus dua kali naik angkutan dan pada
ujungnya harus naik ojeg juga. :D)
Selain itu, semuanya menganjurkan naik ojeg.
Saya semakin heran dan penasaran. Destinasi wisata
seterkenal Sawarna tak ada angkutan umum menuju kesana? Apalagi dari Bayah ke
Sawarna cukup jauh, 12 Km.
Saya benar-benar ingin tahu kenapa? Ada apa?
Selidik punya selidik, ternyata ini semua karena
sebuah konflik. Konflik yang melibatkan tukang ojeg.
Sebelum-sebelumnya ternyata pernah ada angkutan
umum dari Bayah ke Sawarna. Salah seorang warga berinisiatif untuk mempermudah
akses ke tempat wisata tersebut. Tapi setelah beberapa lama angkot itu
beroperasi, terjadi kejadian dimana mobil angkot tersebut dipecahkan
kaca-kacanya oleh beberapa orang suatu malam.
Kemudian hal yang sama terjadi ketika kedua
kalinya ketika angkutan umum yang berbeda selang beberapa lama mengalami
kejadian serupa. Secara sengaja dihancurkan oleh orang-orang yang entah siapa
tak diketahui secara pasti.
Maka 2 kali keberadaan angkutan umum
Bayah-Sawarna, 2 kali pula ketidakberadaannya mengikuti.
Ternyata setelah beberapa lama akar masalah dan
biang keroknya terungkap juga. Yang menjadi desas-desus warga Sawarna ternyata
bukan isapan jempol belaka. Para tukang ojeg tidak rela ‘ladang’ mereka diambil
oleh angkutan umum yang hadir disana. Maka karena konflik antara tukang ojeg
dan beberapa orang yang berinisiatif mengadakan angkutan umum Bayah-Sawarna
belum selesai juga, angkutan umumpun masih belum dapat dinikmati warga.
Ah konflik memang ada-ada saja.
Saya harap pemerintah mengambil peran ini.
Setelah memperoleh info dari warga Sawarna, esok
paginya saya memutuskan untuk pulang lewat jalur berbeda. Tak terencanakan
sebelumnya memang. Tapi justru ini tantangan.
Ada mobil ELF langsung dari Sawarna menuju
Palabuhan Ratu. Dan sayangnya ini hanya ada satu mobil. Berangkatnya setelah
shubuh. Maka beberapa spot yang saya rencanakan dikunjungi harus saya urungkan.
ELF ini satu-satunya angkutan umum yang jadi
andalan masyarakat Desa Sawarna untuk menuju Palabuhan Ratu. Sebenarnya ada,
tapi kita harus ke Bayah dulu, mencegat ELF jurusan Cikotok-Palabuhan Ratu.
Karena hanya satu tadi, ditambah masyarakat Desa
Sawarna begitu membutuhkan keberadaanya, maka alhasil saya bersama 10 orang
laki-laki berhasil ‘ditumpuk’ bersama barang-barang bawaan diatap mobil ELF
berkapasitas 18 orang tersebut. Sementara sekitar 24 orang dibawah yang
kebanyakan perempuan.
Sangat overload memang, tapi ini tak ada pilihan,
kawan.
Maka untuk kedua kalinya, pemerintah semoga memperhatikan
ini pula.
Kurang lebih seperti ini gambaran mobil yang saya naiki, dengan tambahan beberapa orang lagi diatasnya.
Ada alasan tersendiri dan berbeda-beda mengapa
masyarakat Desa Sawarna lebih memilih ke Palabuhan Ratu untuk berbelanja
kebutuhan mereka. Bertumpuk dan berjejal di mobil berkapasitas kecil hingga 2
kali lipatnya. Mereka rela-rela ke Propinsi sebelah daripada harus ke Bayah
atau Malingping.
Rute yang saya tempuh: Pandeglang-Bayah-Sawarna-Pelabuhan Ratu-Bogor-Jakarta-Rangkas-Pandeglang.
Dari Bogor saya berkereta, menuju Jakarta kemudian
terus ke Rangkas. 4 ribu saja. Sungguh murah. Maka tak heran jika kereta api
selalu dijejali dan dipenuhi penumpang tiap waktunya dan menjadi moda
transportasi paling favorit bagi kalangan menengah ke bawah. Rencana kenaikan
tarif Oktober nantipun sepertinya takkan mengurangi antusias masyarakat untuk
menggunakan kereta. Walau mungkin banyak yang keberatan dan tidak setuju. Dan
sayapun sebenarnya tidak setuju tentang rencana itu, selama itu tidak diimbangi
dengan kenaikan jumlah moda transportasi dan peningkatan pelayanannya pula.
Pandeglang,
02 Juli 2012
Selasa, 11 September 2012
'Oleh-Oleh' Kecil dari Ciamis
Baru saja shubuh tadi saya pulang dari Ciamis. Main di rumah teman yang sudah lama tak berjumpa. Buat saya, 2 hari disana sudah cukup untuk mendapat suasana baru, ilmu baru, pengalaman baru, sudut pandang baru menjalani hidup ini.
Sebenarnya kepergian kesana tak direncakan sebelumnya. Itu hanya obat dari sebuah kekecewaan karena tak jadi pergi ke Pangrango akhir pekan kemarin. Tapi alhamdulillah-nya Ciamis bersedia menjadi tempat 'pelampiasan'. :D
Berawal dari menghadiri wisuda teman-teman SMA di kampus UI Depok, rencana kepergian ke TNGP keesokan harinya tepaksa ditunda karena sesuatu hal. Entah sampai kapan.
Akhirnya berangkat ke stasiun Kota untuk mencari kereta ke arah Ciamis sekalian beli tiketnya. Entah karena akhir pekan atau karena memang sudah biasa, saya harus menunda keberangkatan ke Ciamis dengan kereta keesokan paginya. Karena tiket kereta Serayu Malam tujuan akhir Kroya telah habis terjual.
Ini pertama kalinya saya naik kereta lewat jalur selatan. Dataran tinggi di sekitar Bandung membuat rute kereta harus berbelok-belok, diatas pegunungan. Alhasil saya dapat menyaksikan pemandangan dibawah kaki gunung langsung dari kereta yang sedang berjalan. Ruas jalan tol yang membelah bukit, pemukiman penduduk yang berpola ataupun random, persawahan hijau yang membentang, sungai-sungai yang mengalir dibawah kereta, bukit-bukit menjulang yang justru menjadi tempat roda kereta menapak diatas rel, menjadi pemandangan yang menakjubkan. Ini toh alasan kenapa saya tidak mendapatkan kereta malam hari, fikir saya. Hhe..
Ciamis sendiri sudah sesuai ekspektasi saya selama ini. Sejuk, damai, tenang, dan tentunya tidak se-crowded kota-kota penting lain. Mulai dari alun-alunnya yang rapi, mesjid agungnya yang cukup megah, suasana malam kotanya elok, orang-orangya yang hangat, hingga hal yang saya paling suka, logat bahasa sunda lemes yang digunakan. Mengobrol dengan teman, bergurau, berjalan-jalan dikota dan suasana baru jadi kegiatan saya disana.
Pulang dari Ciamis saya mendapat beberapa oleh-oleh, salah satunya sebuah pencerahan tentang mengapa teman-teman sebaya saya, adik-adik saya, begitu ingin cepat-cepat menyelesaikan studinya, ingin cepat-cepat menyelesaikan kulihanya, dan ingin cepat-cepat segera mendapat pekerjaan.
Saya menemukan bahwa sebagian, atau bahkan mayoritas orang, ingin cepat-cepat bekerja agar segera dapat memiliki apa yang mereka inginkan. Dengan bekerja kita bisa mendapatkan ini dan itu dengan mudah, dengan bekerja kita berekspektasi bahwa kehidupan kita akan makmur dan sejahtera, dan dengan bekerja kita bisa memiliki segalanya dengan merocek kantong yang diisi dengan gaji yang kita dapat.
Tapi sekali lagi, itu hanya sebagian. Motivasi orang ingin segera menyelesaikan sekolah dan kuliah kemudian segera bekerja memang berbeda-beda. Tapi harus diakui, banyak orang yang motivasinya seperti yang saya ungkapkan diatas. Dan menurut saya, ini bisa membuat kita menjadi manusia materialistis.
Coba sekarang fikir-fikir lagi deh, yang lagi sekolah atau kuliah, kenapa ingin cepat-cepat lulus dan segera bekerja? Padahal secara tidak langsung, ketika kita ingin segera lulus sekolah, segera lulus kuliah, segera bekerja, segera berkeluarga, itu artinya kita ingin segera tua, dan artinya pula segera mendekati kematian. :p
Inginnya yang segera-segera melulu.
Hufth..! Menikmati apa yang saat ini dijalani itu memang tidak mudah.
Perjalanan kemarin dan sebelum-sebelumnya (dan kedepannya semoga), memang selalu mendatangkan pelajaran-pelajaran baru. Seperti kata Imam Syafi’i, walaupun itu menghabiskan uang dan tenaga, akan terbayar dengan 5 manfaat yang akan didatangkannya, salah satunya ilmu dan pelajaran-pelajaran baru.
Lagian menurut saya, uang itu akan habis pula kok pada akhirnya. Bisa dicari lagi. Rezeki Allah masih melimpah ruah di bumi ini.
Dan tenaga akan bisa diisi lagi dengan makan. Juga dengan istirahat pada saat waktunya nanti. Takkan pernah habis selama kita masih hidup dan menjaga kesehatan.
Beda dengan ilmu, pengalaman berharga, pelajaran baru, akan sulit didapatkan dengan mudah dengan hanya diam disatu tempat saja.
Dan di perjalanan pulang dalam bus Merdeka menuju Serang, sempat terfikirkan dan timbul harapan benak saya, semoga kelak suatu saat nanti saya punya pendamping yang suka jalan-jalan juga.. *lho??? :D
Kamis, 05 Juli 2012
Perempuan-Perempuan Tangguh
"Katakanlah, 'aku
berlindung kepada Tuhan yang menguasai shubuh. Dan dari kejahatan (makhluk
yang) Dia ciptakan. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.’” (QS. Al-Falaq : 1-3).
Malam datang, aku
panik sesungguhnya. Bukan karena aku ada di hutan belantara, bukan karena
penerangan yang kugunakan apa adanya, bukan pula karena jalan setapak yang
terjal sulit dititi saat gelap gulita. Bukan, bukan itu.
Ini semua karena 19
orang di belakangku, yang sudah hampir 4 jam bersamaku, menyusuri hutan melalui
jalan-jalan setapak yang berliku, adalah perempuan!
Ya perempuan!
Hanya 1 orang laki-laki
diujung sana, teman kost-anku, yang 24 jam lalu berhasil kuajak dia secara
paksa agar mendampingi satu-satunya laki-laki yang kini ada di barisan paling
depan, diriku sendiri.
Maka asma Allah tak
henti-hentinya terucap dari bibirku, semenjak setengah jam lalu, saat jarum jam
tanganku melintang membentuk sudut 180°, tanda pekat gelap menyelebungi
lebatnya hutan, dipegunungan Kendeng yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Aku memohon
perlindungan padaNya. Semoga tak terjadi apa-apa.
Bukan apa-apa, ini
pertama kalinya aku menempuh perjalanan berjalan kaki yang cukup jauh bersama perempuan
sebanyak itu. Aku tak mengenal sepenuhnya mereka. Yang kutahu hanyalah sebuah
nama, itupun hanya satu dua, selebihnya aku hanya mengenal mereka dengan nama warna
yang mendominasi pakaian dan kerudung yang mereka kenakan. :D
Terlebih lagi, hal
yang tak ku inginkan sebelum perjalanan dimulai telah terjadi pada salah satu
dari mereka. Walau tak seburuk apa yang ada dalam fikiranku.
Maka alasan aku
menjadi panik, khawatir, cemas, atau apalah namanya, adalah wajar. Sewajarnya-wajarnya
laki-laki yang bertanggung jawab atas 19 orang perempuan dan 1 orang laki-laki juga
dalam gelap gulita ditengah hutan belantara.
Namun kepanikan,
kekhawatiran, kecemasan, itu terjadi cukup hanya dalam hati, tak terekspresikan
dalam bahasa tubuh. :p
Sesekali barisan
belakang meminta (atau dengan permintaan) ku agar berhenti atau memperlambat
jalan kami. Agar kami lebih merapatkan barisan, agar tak ada yang terpisahkan
satu sama lain.
Sesekali pula kami
berhenti mengecek jumlah anggota, takut-takut ada yang kurang, apalagi jika
lebih. :D
Sekitar 10 km sebenarnya
telah kami tempuh dari sore. Sebentar lagi memang menuju tujuan, dari 12 km
jalan setapak yang harus kami tempuh. Tapi kata sebentar itu terasa amat lama
bagiku. Entahlah, mungkin ini karena perasaan ku yang menyelubungi semenjak
tadi.
Sungguh perjalanan
ini sebenarnya tak lebih melelahkan daripada hujan-hujanan saat ke Baduy
beberapa waktu lalu.
Namun aku lebih
memilih hujan-hujan saja, fikirku.
Walau sebenarnya ‘penderitaan’
hujan-hujanan menyusuri hutan tak lebih baik daripada gelap-gelapan menyusuri
hutan.
Hanya menyusuri
hutan sambil hujan-hujanan dan gelap-gelapan lah yang tak lebih baik dari
keduanya. Karena itulah puncak penderitaan. :D (Naudzubillah, jangang sampe dah)
Dan setelah 1 jam
lebih menyusuri hutan penuh kegelapan, akhirnya kami tiba di tujuan akhir kami,
Kampung Cibeo, salah satu perkampungan Baduy dalam. Suku yang terkenal anti
modernisasinya itu.
“Teman-teman,
Alhamdulillah kita telah tiba di Cibeo. Dibalik jembatan bambu sana
kampungnya.” Ujarku, sambil menunjuk ke arah perkampungan Cibeo yang tak terlihat
karena gelap gulita itu, hingga beberapa dari mereka berbisik tentang letaknya
karena tak dapat melihat kampung yang kumaksud.
Sungguh aku
benar-benar lega. Walau esok harinya harus melewati jalan-jalan setapak yang
tak berbeda jauh dari jalan yang kami lewati tadi. (Memang kami mengambil jalan
yang berbeda saat datang dan kembali).
Namun seberat
apapun itu, aku tak khawatir karena esok kami akan menyusuri hutan-hutan yang
sama saat pagi hari.
Dalam rumah salah
seorang warga Baduy; beratapkan daun-daun Kiray yang disusun rapi,
bertiangkan pohon Mahoni tanpa paku, berpanggungkan bambu Apus yang
besar-besar itu, beralaskan tikar daun Pandan hutan, berlampukan sumbu disulut
api yang diletakan dalam sebuah batok kelapa berisi minyak kelapa yang kemudian
digantungkan ditengah ruangan, satu saja tak lebih, dengan ditambah kehangatan
api sisa perapian dari tungku yang berasal dari kamar sang tuan rumah, aku
mencoba mengenal lebih dekat mereka. Dan menghafal nama mereka terutama. :D
Mereka yang datang
dari berbagai belakang; Mahasiswi, Karyawati, Penulis, hingga Ibu rumah tangga
itu, lebih senang menamakan diri dalam 1
identitas, traveler! Bahkan beberapa dari mereka menamakan diri sebagai
backpacker.
Mereka senang dan
sering melakukan perjalanan. Baik berombongan yang diorganisir bareng-bareng,
ikut agen travel, atau bahkan bepergian sendiri ala backpacker; menentukan
itinery, budgeting dan persiapan sendiri, seperti yang senang aku lakukan.
Ah jarang aku
bertemu dengan perempuan-perempuan seperti mereka.
Yang selama ini ku
kenal adalah perempuan-perempuan yang hanya ingin nyaman saat berpergian, anti
naik kendaraan umum, terutama ekonomi, apalagi kereta, tak mau menempuh
perjalanan jauh, jangankan berhari-hari, satu haripun kewalahan.
Sebelum-sebelumnya, telah terlalu banyak tempat wisata yang mereka kunjungi. Dari wisata alam hingga wisata budaya. Bagi mereka, perjalanan ke Baduy adalah perjalanan wisata nomor kesekian tahun ini, bahkan bulan ini. Walau harus mereka akui, perjalanan ke Baduy adalah perjalanan yang terlalu ‘menyengsarakan’ untuk dilewati dalam hal trek yang dilalui. :D
Sebelum-sebelumnya, telah terlalu banyak tempat wisata yang mereka kunjungi. Dari wisata alam hingga wisata budaya. Bagi mereka, perjalanan ke Baduy adalah perjalanan wisata nomor kesekian tahun ini, bahkan bulan ini. Walau harus mereka akui, perjalanan ke Baduy adalah perjalanan yang terlalu ‘menyengsarakan’ untuk dilewati dalam hal trek yang dilalui. :D
Tapi walaupun
begitu, (beberapa dari) mereka tak merasa kapok untuk kembali kesana.
Bahkan aku
perhatikan ada dari mereka begitu bersemangat dalam menempuh trek yang ada.
Maka, walau
beberapa dari mereka ada yang tersiksa selama perjalanan, hingga ada yang
menyerah bahkan di awalnya, tapi buatku mereka adalah perempuan-perempuan
tangguh.
Dan bagiku pribadi,
perjalanan ke Baduy selalu menambah pengalaman dan pelajaran. Aku belajar
banyak hal kemarin. Mulai dari tentang kesabaran, empati, hingga tentang keegoisan.
Dan perjalanan
kemarin pun begitu menyenangkan sekaligus mengherankan. Bagaimana tidak
mengherankan coba, obat yang terpaksa harus ku bawa dalam perjalanan untuk
menanggulangi sakitku seminggu terakhir ini, yang sempat mengganggu UAS dan hampir
membatalkan perjalanan kemarin, bukannya semakin dibutuhkan malah justru
sebaliknya, tak dibutuhkan lagi sepulang dari sana. :D
Aku sepenuhnya
sembuh!
Alhamdulillah! :)Jumat, 08 Juni 2012
Perjalanan
-Ozzie, salah satu anggota Laskar
Jalanan Baker Street dalam kisah Sherlock Holmes.
Ada kenikmatan tersendiri saat-saat dimana
meniti terjalnya tiap tanjakan, menuruni curamnya lembah dan turunan, menyeberangi
jernihnya sungai melalui jembatan, melewati dinginnya malam yang menembus
tulang, bertemu dan berbincang dengan penduduk suku baduy dalam.
Karena memang, saya pribadi, selalu
menikmati setiap perjalanan yang saya lakukan, kemanapun itu. Baik ke hutan
ataupun ke kota. Termasuk ke Baduy dalam ini.
Apalagi dalam setiap perjalanan itu,
saya selalu ‘menyelipkan’ sebuah misi. Karena bagi saya, walaupun kecil,
perjalanan disertai misi setidaknya memiliki sebuah nilai.
Ya! saya ingin setiap perjalanan yang saya
lakukan memiliki nilai. Bukan hanya perjalanan yang sia-sia yang menghabiskan
waktu, tenaga dan biaya.
(walaupun saya yakin, diselipkan ataupun
tidak, setiap perjalanan selalu punya nilai. hhe..)
Dan dalam perjalanan kemarin (dan ke
depan) pun, misi yang saya bawa adalah gerakan Bebersih Baduy yang selama ini saya
propagandakan di dunia maya.
Ke depan, selain gerakan Bebersih Baduy
yang merupakan misi bersama, banyak misi pribadi yang ingin saya bawa selama
melakukan perjalanan ke Baduy. Salah satunya saya ingin melakukan penelitian
(walau saya sadar saya tak punya jiwa peneliti. Hhe..). Penelitian
kecil-kecilan. Tentang apa saja. Tentang Baduy dan segala kebudayaan yang
dimilikinya. Tentang pengunjung dan segala kepentingan yang dibawanya. Tentang
sampah dan segala efek yang ditimbulkannya. Tentang perjalanan dan segala hal yang
menyertainya. Dan tentunya tentang Penulis sendiri dan segala pelajaran berharga
yang didapatkannya.
Dengan memiliki sebuah misi, perjalanan
yang ditempuh menjadi menyenangkan untuk dilalui. Selain punya nilai untuk diri
sendiri sebagai ajang
aktualisasi diri dan bagian dari proses pendewasaan diri, perjalanan pun tentunya
akan menjadi lebih bernilai jika mengandung nilai ibadah dihadapan Allah swt. Atau
setidaknya menjadi sarana agar semakin mengenal kebesaranNya.
Maka buat saya, setiap perjalanan adalah
menyenangkan, karena dia selalu punya nilai, yang sengaja ataupun tidak kita
ciptakan.
Dan minggu depan, di sela-sela UAS yang
menerjang, saya akan ke Baduy lagi! :D
*sedikit curhat, tapi semoga bermanfaat.
Langganan:
Postingan (Atom)